oleh

ANIES BASWEDAN: PUTERA SEMUA BANGSA

-OPINI-124 Dilihat

Kenyataan ini meneguhkan keyakinannya bahwa pluralisme adalah jati diri bangsa yang hakiki. Dari sini ia memberikan penghargaan tinggi pada para founding father yang menemukan Pancasila sebagai ideologi/falsafah negara, yang merupakan sine quo non Republik Indonesia.

Kendati telah berorganisasi sejak SD, baru di kampuslah ia terlibat dalam organisasi yang bercorak nasional ketika menjadi kader HMI dan Ketua Senat Mahasiswa. Di kedua organisasi ini ia mematangkan diri dalam leadership dan mengadopsi nilai-nilai sosial-budaya baru khas Indonesia.

Pada tahap ini juga ia menekuni sejarah bangsa sehingga, dalam perjalanan waktu, berlangsung proses dialektika nilai dalam dirinya, antara nilai-nilai agama, budaya Jawa, dan nilai-nilai keindonesiaan yang dipengaruhi kehidupan kampus.

Perjumpaannya dengan teman-teman Muslim dari berbagai aliran Islam menyadarkannya bahwa corak Islam yang dianutnya hanyalah salah satu subkultur Islam di negeri ini. Dan tak perlu diubah karena yang terpenting adalah nilai-nilainya yang substantif dan transformatif.

Baca Juga  In Memoriam KH. Abdul Gani Kasuba, LC, Ustad Ku, Gubernur Ku

Karena nilai-nilai Islam inilah Anies tidak kikuk berada di tengah aliran Islam manapun. Dalam hal bentuk-bentuk lahiriah dari agama bisa jadi ia sedikit berbeda dengan kelompok lain. Tapi dari esensi Islam yang “rahmatan lilalamin”, Anies tak dapat dibedakan dari kelompok Islam manapun. Bahkan, dari sisi adab dan akhlak, Anies jauh lebih representatif sebagai sosok yang dicita-citakan Islam ketimbang mereka yang menuduhnya pro-khilafah.

Sekali lagi, terkait esensi Islam, siapa yang berani mengatakan Anies berbeda dengan tokoh NU dan Muhammadiyah yang paling terkemuka? Sayang sekali saya harus mengatakan, Anies satu di antara sedikit pemuka agama di negeri ini yang berada di garis paling depan dalam mengusung universalisme Islam, seperti kejujuran, keadilan, amanah, toleransi, moderasi, cinta ilmu, kerja keras, dan kepedulian pada orang tertindas.

Baca Juga  ANDAI KITA PUNYA MESIN WAKTU

Kalau ada ormas Islam yang belum berkenan atau mencurigainya, itu lebih terkait dengan sentimen yang bersifat historis, kepentiangan politik parsial, dan perbedaan ritual agama. Terlalu culas dan jahat orang yang mengaitkannya dengan radikalisme.

Ketika kuliah S2 dan S3 di Amerika Serikat, ia bertransformasi menjadi manusia kosmopolitan. Di tengah masyarakat sekuler multiras paling maju, ia belajar menghargai kebebasan berekspresi yang hampir-hampir tanpa batas, toleran terhadap anek sikap budaya manusia yang datang dari budaya-budaya agung dari seluruh penjuru dunia, dan menyesuaikan diri dengan kehidupan sosial mondial.

Di sana juga ia belajar praksis demokrasi, sejarah AS untuk memahami apa saja yang menjadikan bangsa ini menjadi yang termaju di dunia, belajar tentang kemalangan hidup manusia yang diproduksi sistem sosial-budaya yang mengagungkan pencapaian materialistik individu.

Baca Juga  MAY DAY DAN NASIB BURUH INDONESIA

Bersama dengan seluruh nilai yang dibawa dari tanah air, kosmopolitanisme AS membentuk jiwanya yang luas, yang mampu menampung segala perbedaan dari dunia yang rumit dan kompleks ini, dunia yang terus berubah dalam tempo yang makin cepat untuk mendukung kebutuhan tanpa batas manusia.

Alhasil, tahapan-tahapan kehidupan sosial-budaya yang dijalaninya menjadikan dirinya putera semua bangsa yang dilahirkan Ibu Pertiwi. Tak heran, ia dikenali dan dianggap sebagai anggota keluarga sendiri oleh semua kelompok sosial-budaya yang ada di muka bumi ini, kecuali oleh orang-orang yang membencinya untuk alasan yang sulit dimengerti. Tak heran, ia diundang berbagaj negara maju dan institusi-institusi internasional untuk berbagi ilmu dan pengalamannya demi dunia yang lebih baik.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *