oleh

ANIES BASWEDAN: PUTERA SEMUA BANGSA

-OPINI-8 Dilihat

Orang-orang yang matang secara mental-spiritual, toleran, dan rendah hati, biasanya mereka yang, dalam perjalanan hidupnya, melintasi beragam simpul sosial-budaya yang bertingkat-tingkat. Anies Baswedan salah satunya.

Di rumah, ia dibesarkan dengan ilmu pengetahuan dan agama oleh kedua orangtuanya yang relijius dan terdidik. Artinya, agama yang ditanamkan kepadanya adalah Islam inklusif, yang memudahkannya menerima ilmu pengetahuan yang rasional. Bukankah Islam mewajibkan penganutnya menuntut ilmu untuk memfasilitasi jalan hidup mereka?

Seiring dengan itu, sejak dini Anies kecil telah dibuka wawasan nasionalisme oleh kakeknya, Abdurrahman Baswedan. Dalam salah satu kesempatan, Anies menyatakan sangat terkesan melihat kakeknya naik becak bersama dua tokoh Partai Katolik: Frans Seda dan Kasimo.

Dan ia mendengar sendiri percakapan mereka tentang permasalahan bangsa. Maka, ketika hari ini kita menyaksikan Anies akrab dengan semua komunitas agama dan politisi, itu bukan pencitraan untuk kepentingan politik, melainkan manifestasi penghayatannya pada agama yang dipeluknya bahwa perbedaan di antara manusia adalah kehendak Allah.

Baca Juga  Info Buku (11) : GORESAN SANG ETNOGRAF

Sikap terbuka itu juga menggambarkan kesadarannya tentang keindonesiaan: bangsa muda yang masih bergelut dengan dirinya tentang postur kebangsaan yang mampu mengakomodir semua perbedaan secara dewasa, bukan nasionalisme picik yang dijadikan alat untuk menggebuk lawan debat.

Di luar rumah di Yogyakarta, Anies disusui oleh budaya Jawa yang paling matang. Bahasa Jawa yang bertingkat-tingkat adalah sebuah ikhtiar membangun struktur sosial-budaya yang dinamis di mana setiap anggotanya diajarkan menyesuaikan diri terus-menerus dalam interaksi sosial di masyarakat yang senantiasa berubah.

Baca Juga  Mampukah Konsolidasi 11 Tokoh Gagalkan PIK-2?

Ini membuat orang yang dilahirkan budaya itu menjadi toleran, sensitif, tawadhu, adaptif, dan terbuka pada perbedaan pendapat. Nilai-nilai ini melekat pada pribadi Anies. Seperti orang Jawa, ia tak meladeni debat kusir atau fitnah yang mengarah pada konflik, yang membuat manusia menjadi tidak produktif.

Bagi orang Jawa, manusia hanya dinilai dari adab, karya, dan cara dia berkomunikasi dengan orang lain. Memang interaksi sosial yang sehat, proporsional, dan bersifat tukar pikiran, akan melahirkan manusia yang berdaya dan menjamin keharmonisan sosial. Anies sering mengatakan, perbedaan di antara manusia adalah takdir, tapi persatuan yang terlahir dari kesamaan tujuan adalah pilihan.

Baca Juga  Perseteruan Prabowo vs Jokowi Tak Dapat Dihindari

Ketika kuliah di UGM, untuk pertama kalinya Anies menjadi orang Indonesia. Melalui interaksi intensif dengan teman-teman yang datang dari semua etnis, agama, dan budaya di negeri ini, membuka wawasan barunya tentang “Bhineka Tunggal Ika”.

Mau tak mau perangai dan komunikasinya mengindonesia untuk menjawab kebutuhan pergaulannya. Latar belakang budaya Jawa yang luwes dan internalisasi nilai-nilai Islam yang inklusif, memudahkannya berinteraksi dan beradaptasi dengan kehidupan kampus yang semarak.

Dan di kampus, nasionalismenya yang masih mentah menemukan wadahnya untuk berkembang. Ia pun mendapati sikap-sikap budaya dan pandangan keagamaan yang beragam, yang datang dari tradisi-tradisi lokal dan agama yang kaya. Bukan hanya Islam, melainkan juga agama-agama besar dunia.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *