oleh

MOMENTUM MENYEDIHKAN: MEGAWATI, JOKOWI, GANJAR

-OPINI-260 Dilihat

Memang Mega juga mengatakan, kalau Jokowi tidak pintar ia tidak akan mengusungnya. Tapi itu terkesan hanya apologi untuk menjustifikasi dukungan PDI-P dan melunakkan sikap meremehkan Jokowi, yang sekarang menjadi penghalang skema Mega terkait pilpres mendatang.

Bagaimanapun, Jokowi telah berubah dari kucing menjadi harimau dan berambisi menjadi penentu siapa yang akan memimpim Indonesia kelak guna mengamankan legacy-nya, meneruskan program pembangunannya, dan menjaga kepentingan keluarga dan kroni-kroninya.

Untuk itu, si pembuat mobil Esemka khayalan mengambil berbagai langkah untuk menyingkirkan Anies Baswedan dari arena kontestasi pilpres dan mempromosikan Ganjar Pranowo. Namun, ambisi Jokowi bertabrakan dengan ambisi Mega.

Mega tak sepakat dengan kemauan Jokowi memenangkan si rambut putih. Dalam perayaan HUT PDI-P itu, Ganjar hanya ditempatkan di barisan ketiga dari hadirin, berimpitan dengan kader lain yang kurang penting. Dan selama pidato yang panjang itu, tak sekali pun Mega menyebut nama si rambut putih yang merupakan aspiran capres dengan elektabilitas tinggi.

Baca Juga  Kepalsuan Ijazah Jokowi dan OCCRP di Belanda

Dalam konteks ini, pidato Mega dapat dimaknai sebagai upaya mengamputasi pengaruh Jokowi. Juga untuk menghentikan angan-angannya berkuasa lebih lama ketika Mega menegaskan kembali penentangannya terhadap gagasan perpanjangan masa jabatan presiden atau Jokowi tiga periode.

Lepas dari ambisi Jokowi terhadap kekuasaan dan harapannya untuk memenangkan Ganjar, apa yang dilakukan Mega terhadap mantan tukang mebel itu sungguh menyedihkan. Bagaimanapun, Jokowi adalah kepala negara yang mendapat mandat dari rakyat.

Tak kurang menyedihkan, maksud Mega membesarkan dirinya dengan memuji diri sendiri sambil mengeciilkan orang yang kedudukan formal lebih tinggi dari dirinya, justru mengerdilkan dirinya sendiri. Biarkan orang lain yang menilai Anda, bukan Anda yang menilai diri sendiri.

Baca Juga  Lepas Dari Jokowi, Semua Happy

Gelar profesor dan HC — meskipun bejibun — tak mencerminkan kepintaran atau kapasitas intelektual si penerima gelar. Gelar-gelar itu lebih menunjuk pada ucapan terima kasih atas peran PDI-P — yang sengaja atau tidak, diniatkan atau tidak — telah memberi keuntungan pada negara pemberi gelar dalam hubungannya dengan Indonesia.

Terkait institusi pemberi gelar, anugerah itu bisa juga berhubungan dengan peran ideologis PDI-P. Di atas segalanya, pemberian gelar kehormatan merupakan diplomasi si pemberi gelar yang bertujuan menjaga serta meningkatkan hubungan dengan Indonesia. Dus, si penerima gelar harus mawas diri atas motif-motif si pemberi gelar, bukan untuk dikoar-koarkan dengan surplus kepercayaan diri.

Baca Juga  MAY DAY DAN NASIB BURUH INDONESIA

Tapi bukan hanya Jokowi. Perlakuan Mega terhadap Ganjar juga menyedihkan. Ia didorong ke belakang untuk dilenyapkan dari arena kontestasi pilpres. Memang tokoh ini hampir tidak ada prestasi selama memimpin Jawa Tengah. Di bawah Ganjar, Jateng menjadi provinsi termiskin di Pulau Jawa.

Saat ini Jateng dilanda banjir yang nyaris menenggelamkan Semarang. Insiden kekerasan di Desa Wadas, Jateng, mengungkapkan ideologi pembangunanisme Ganjar yang diadopsi dari Orde Baru. Lalu, Ganjar disebut-sebut salah seorang penerima dana besar dalam kasus korupsi E-KTP.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *