Setiap kali sebuah entitas merayakan hari lahirnya, lazimnya momentum itu menjadi hari kebahagiaan, kebanggaan, konsolidasi, bahkan penghargaan bagi mereka yang ikut membesarkan entitas itu.
Tapi berbeda ketika PDI-P merayakan HUT Ke-50 pada 10 Januari silam. Pada momen itu, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri justru menghadirkan suasana yang menyedihkan.
Dalam pidatonya, dengan kepercayaan diri berlebihan, Mega memuji-muji dirinya sendiri sambil merendahkan Presiden Joko Widodo yang berada di depannya. Mega mengaku cantik, pintar, dan kharismatik.
Untuk menekankan kepintarannya, ia beberkan gelar-gelar yang ia peroleh, yaitu dua gelar profesor, sembilan gelar honoris causa (HC), dan lima lagi gelar HC yang pemberiannya ditunda disebabkan pandemi covid-19.
Pada saat yang sama ia menyampaikan bahwa partainya berperan besar terhadap karier Jokowi. Jokowi dinilai tidak bisa seperti sekarang ini tanpa peran partai berlambang banteng moncong putih itu.
“Pak Jokowi itu ngono lho, mentang-mentang, lah iya. Padahal, Pak Jokowi kalau tidak ada PDI-P, kasihan dah,” katanya sambil tertawa dan tepuk tangan.
Memang sejak awal, kendati salah kaprah, Mega telah berulang kali mengatakan Jokowi hanyalah petugas partai. Saya bilang salah kaprah karena Jokowi dipilih rakyat, bukan partai. Dan begitu terpilih menjadi presiden, loyalitasnya pada partai berakhir, diganti loyalitasnya pada negara.
Dengan melontarkan pernyataan di atas, sesungguhnya Mega merendahkan Jokowi, yang tentunya tidak etis. Mega menunjukkan ia punya kekuatan politik lebih besar dan mengklaim kekuatan itu sebagai penentu kemenangan Jokowi dalam dua pilpres.
Padahal, meskipun PDI-P merupakan partai terbesar, peran partai koalisi lain tidak kalah berjasa dalam memenangkan Jokowi. Belum lagi peran kekuatan lain, seperti media arus utama yang umumnya mendukung mantan walikota Solo itu secara militan.
Dalam pandangan Mega, sesuai tafsiran atas pernyataannya, sebenarnya Jokowi tak layak jadi presiden. Berkat dukungan PDI-P-lah orang yang tak ada apa-apanya ini bisa muncul sebagai orang nomor satu di negeri ini.
Pandangan Mega terkait kualitas dan kapasitas Jokowi memang sejalan dengan pandangan sebagian pengamat, akademisi, dan intelektual. Tetapi hal ini menjadi heboh karena dilontarkan pemimpin partai di mana Jokowi adalah kadernya. Dan memunculkan pertanyaan: kalau Jokowi tidak ada apa-apanya mengapa PDI-P mempromosikannya?
Komentar