Sorotan juga datang dari Forum Mahasiswa Pascasarjana (Formapas) Maluku Utara, yang menuding PT Position beroperasi tanpa izin resmi dan menyerobot wilayah konsesi milik perusahaan lain di Halmahera Timur.
Ketua Bidang ESDM Formapas, Arsil Made, menyebut adanya ketimpangan mencolok dalam penegakan hukum antara masyarakat adat dan korporasi.
“Kasus ini tidak adil. Warga adat dikriminalisasi, sedangkan perusahaan yang diduga ilegal justru kebal hukum,” ujarnya.
Arsil juga menyinggung rumor keterlibatan anak pejabat tinggi kepolisian yang diduga memperlambat penyelidikan kasus ini. “Laporan warga adat ke Polda Malut terhenti dengan alasan perkara perdata, tapi laporan balik dari PT Position cepat diproses hingga dua warga ditetapkan tersangka,” tambahnya.
Sementara itu, Koordinator Perhimpunan Aktivis Maluku Utara (Malut), Yohanes Masudede, menilai kasus PT Position telah menjadi simbol ketimpangan dalam tata kelola sumber daya alam nasional.
“Ini bukan sekadar pelanggaran izin tambang, tapi persoalan martabat dan hak hidup masyarakat adat. Ketika warga mempertahankan tanah leluhurnya justru dikriminalisasi, itu artinya negara gagal melindungi rakyatnya,” tegas Yohanes.
Ia mendesak pemerintah dan Satgas Tambang segera melakukan audit menyeluruh terhadap aktivitas PT Position — mulai dari aspek legalitas, lingkungan, hingga sosial. “Kalau pemerintah benar-benar berpihak pada rakyat, hentikan praktik impunitas korporasi. Lingkungan bukan barang dagangan, dan masyarakat adat bukan penghalang pembangunan,” ujarnya.










Komentar