Padahal, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menegaskan bahwa guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Penundaan pembayaran tunjangan guru berarti pelanggaran terhadap amanat hukum dan konstitusi.
Kondisi ini diperparah oleh lemahnya pengawasan anggaran oleh DPRD. Sejumlah guru di daerah terpencil bahkan mengaku harus mengajar tanpa fasilitas memadai, jaringan internet terbatas, listrik tidak stabil, hingga biaya transportasi yang ditanggung pribadi — sementara tunjangan profesi mereka tak kunjung cair.
“Pemerintah daerah terus berbicara soal komitmen pendidikan, tapi realitasnya para guru dibiarkan menunggu tanpa kepastian. Ini bukan hanya soal kesejahteraan, tapi soal keadilan,” kata seorang pengamat kebijakan publik yang juga Owner beberapa Sekolah dari Ternate, Dr. Saiful Ahmad, M.Si.
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah sebelumnya telah menegaskan bahwa dana tunjangan guru ditransfer setiap triwulan ke kas daerah. Namun, lemahnya serapan di tingkat daerah menunjukkan adanya hambatan serius pada tata kelola fiskal dan political will pemerintah provinsi.
Mantan Tenaga Ahli Pimpinan DPR RI ini mempertanyakan : anggaran yang ada jangan sampai dialihkan ke Program lain yang sifatnya Populis tapi tidak memiliki anggaran yang rencanakan tahun sebelumnya, dan ini akhirnya berdampak sistemik terhadap kacaunya pengelolaan administrasi keuangan khusus DAK Pendidikan ini, dan ini jika terjadi sangat berbahaya.
Dia juga dengan denyutan moral mengingatkan Gubernur dan Wagub atas nasib guru sebagai bentuk kebijakan yang dzolim :Kasiang itu para guru yang memiliki hak setelah menjalankan kewajiban tapi tidak mendapatkan hak dari pemerintah dikategorikan Kebijakan Penzholiman. Karena menyiksa guru apalagi sebagian besar guru kita telah menyekolahkan SK nya di bank untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.










Komentar