oleh

SANG (BEGAWAN) LINGKUNGAN HIDUP

-OPINI-301 Dilihat

Oleh : M.Guntur Alting

__

RUMAH itu berada di Jalan Taman Patra Jasa-Kuningan. Sebuah kompleks yang dihuni beberapa mantan mentri di-era Pak Harto. Terdapat kediaman Ali Wardana (eks Menkeu) dan BJ. Habiebie.

Memasuki kawasan ini membuat kita takjub. Dari hotel Bidakara menuju arah timur. Tak berselang nampak bangunan rumah-rumah besar nan tinggi, dengan pepohonan rindang dan taman yang tertata.

Kami melewati rumah BJ.Habibie yag saat ini menjadi Wisma Habibie & Ainun yang terletak di Patra Kuningan XIII No.5. sampai diujung mengitari bundaran dan memasuki gerbang Patra.

Konon tak jauh dari sini juga di Mega Kuningan-Timur VII No. 26, terdapat rumah SBY hadiah dari negara, yang luasnya 4.000 meter persegi.

Di gerbang pos, ada 3 penjaga (security) yang mendatangi dan menyapa kami. “Sore Bapak/Ibu.. mau ke rumah siapa? “

“ Kami dari GRN, diundang ke kediaman Pak Emil Salim” Jawab Ibu Sekjen. “ Oh siap. Bapak/Ibu nanti terus lurus sampai ujung mentok, belok kanan nomor 14, itulah rumahnya” jelas sang penjaga. “Terima kasih” ucap kami.

Mobil pun bergerak, ketika sampai diujung jalan, terdapat dua jalan bercabang, ke kiri dan kanan.Seperti petunjuk penjaga, kami harus ke kanan dan tak jauh dari itu terlihat rumah N0.14. Persis di belakang rumah sakit Medistra Gatot Subroto.

Baca Juga  Selalu Slogan NKRI Harga Mati, Yaqut Terseret Kasus Kuota Haji

Di depan pintu berdiri sosok perempuan paruh bayah menyambut dan menyelami kami dan selanjutnya kami dipersilahkan masuk.

Tuan rumah itu adalah Ibu Emilia. Lengkapnya adalah Amelia Ferina Salim. Dia anak kedua dari Pak Emil Salim.Bersama ayahnya Prof Emil Salim, ia menempati rumah tersebut.

Di ruangan meeting ia pun mengawali“ Bapak/ Ibu para pengurus GRN selamat datang saya ucapkan di Emil Salim Institut. Terimakasih, telah memenuhi undangan kami. Saya Emilia Farina Salim dan ini Mas Dafa, elisi staf kami” Demikian Ibu Emilia membuka percakapan sore itu.

Ia pun memaparkan visi, misi dan program serta sejarah dari Emil Salim Insititut (ESI) Dan kemungkinan-kemngkinan kolabarasi dengan kami Gerakan Rakyat Nusanara.

Setelah itu ia mempersilahkan Pak Ketua umum kami perkenalkan jajaran pengurus satu per-satu dan pemaparan singkat visi dan program dari GRN bergantian degan Ibu Sekjen

****

Beberapa catatan penting dari penjelasan Ibu Emilia yang saya ingin narasikan adalah. Soal nama Emil Salim Institut (ESI) “nama ini sesungguhnya “unhappy”, bagi Pak Emil, karena terlalu personal. Dia menginginkan lembaga yang asosiasinya bukan “ikon” pribadi tapi kolektivitas”. Kata Emilia.

Baca Juga  POLISI BERMARTABAT

Padahal menurut saya sekelas Pak Emil sangat pantas menggunakan namanya.

Di Indonesia, terdapat beberapa lembaga yang bersandar pada nama tokohnya, seperti Maarif Institut oleh Buya Syafii Maarif, The Yudhoyono Insitute milik Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Institute oleh Ibu Megawati.

Untuk tokoh dunia ada ;The Carter Cernter oleh Jimmy Carter, The Margaret Thatcher Center. Di Indonesi, Habibie mendirikan ‘The Habibie Center.’

Emil salim lebih nyaman menggunakan nama yang tidak mecantumkan namanya. Akhirnya berdirilah yayasan “Era Sharaddha Indonesia” yang Amelia sendiri sebagai ketua yayasannya.

Yayasan ini berdiri pada 2023.Tujuannya adalah sebagai legacy Prof. Emil Salim baik pikiran, hati dan jejak langkahnya. Yayasan ini fokus bergerak pada Lingkungan hidup, dan mempersiapkan generasi yang peduli lingkungan melalui pendidikan.

“Sore hari ini, bapak sesungguhnya ingin ketemu, tapi karena beliau sakit sehingga tidak memungkinkan” ucap Emilia.

Baca Juga  Rivalitas Jokowi vs Prabowo Semakin Nyata

Disamping membicarakan program yang kemungkinan bisa dikolaborasikan dengan kami di GRN. Emilia banyak mengulas tentang pikiran-pikiran ayahnya Emil Salim.

Dalam pandangan Pak Emil. Tahun 2024 dunia berubah. Ada pulau yang hilang, terumbu karang dan ikan punah, flora dan fauna akan banyak yang lenyap. Karena itu perlu ada gerakan kesadaran semesta untuk generasi saat ini, peduli terhadap masa depan lingkungan.

Apa yang dikhawatirkan Prof Emil ini sesungguhnya sudah terasa, di era Jokowi selama 10 tahun, visi pembangunan ekonomi lebih ke eksplorasi tambang. Di berbagai daerah di Indonesia kita lihat dampak lingkungan yang mengiringinya.

Kasus seperti Maluku Utara, Morowali dan terakhir di Papua membuktikannya walaupun pada akhirnya dihentikan. Belum lagi pembangunan IKN yang konon juga punya dampak terhadap lingkungan sekitarnya
.
Ia juga pernah mengeluh bahwa agenda penganugerahan kalpataru pada masa lalu itu sangat bermakna. Namun saat ini sepertinya redup karena dianggap hanya semacam ajang kontes semata. Dan ini dikeluhkan oleh kementrian lingkungan Hidup dan BPLH bahwa sekitar 200 dari 428 dalam kurun 1980-2024 tidak dapat dilacak keberdaannya.

***

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *