oleh

TAKDIR BUKU

-OPINI-281 Dilihat

Tetapi sekarang, kalau ingin mencari tahu tentang sesuatu, saya tinggal me-nyalakan smart phone atau komputer, mengetikkan kata kuncinya, dan semua yang perlu saya ketahui lterpampang di layar-berkat Internet, perpustakaan terbesar di planet ini.

Tentu saja saya masih tetap membeli buku. Karena tidak bisa digantikan oleh versi elektronik apa pun.

” Saya tidak ber-maksud menyelamatkan dan bermurah hati. Saya sekadar meyakini bahwa sebuah buku mempunyai perjalanannya sendiri, dan tidak seharusnya dikurung di dalam rak* . Demikian alasan Coelho.

Sebagai penulis yang hidup dari mengandalkan ro-yalti, hal ini mungkin akan merugikan diri-nya sendiri. Namun bagaimanapun kata Coelho “makin banyak buku saya yang dibeli, makin banyak pula uang yang saya peroleh.”

Baca Juga  Catatan Pimred : SAYA TALIABU Menangi Pilkada Kabupaten Pulau Taliabu, Era Baru Atau Sama Saja Kah

Tetapi ini sungguh tidak adil bagi para pembaca, terutama di negara-negara yang sebagian besar anggaran pemerintahnya digunakan untuk membeli buku-buku perpustakaan tanpa berpegang pada dua kriteria utama yang penting–yakni kesenangan yang diperoleh pembaca saat membaca sebuah buku, plus kualitas penulisannya.

Marilah kita bebaskan buku-buku kita untuk me ngembara, untuk disentuh tangan-tangan lain, dan dinikmati mata orang-orang lain. Sambil menuliskan ini, samar-samar saya teringat sebuah puisi karya Jorge Luis Borges, yang menggambarkan tentang buku-buku yang tidak akan pernah dibuka kembali.

Baca Juga  Megawati dan Prabowo ajari Jokowi biar jujur.

Ia memulai dengan kalimat kutipan sbb :

“Di manakah saya saat ini? Duduk di sebuah kafe, di kota kecil Pyrenean di Prancis, menikmati kesejukan AC, karena hawa panas di luar sungguh tak tertahan-kan. Kebetulan saya memiliki karya lengkap Borges di rumah saya, yang jaraknya beberapa kilometer dari tempat saya menuliskan ini. Borges adalah salah satu pengarang yang karya-karyanya selalu saya baca dan baca ulang. Tetapi mengapa tidak kita uji saja teori saya ini?”

Maka Celho pun menyeberang jalan dan pergi ke kafe lain yang jaraknya 5 menit berjalan kaki; kafe ini dilengkapi komputer (cyber café, istilahnya; bagus tapi kontradiktif).

Baca Juga  JPO Hantu Depan UIN Jakarta Kapan Digeser?

Saya menyapa pemiliknya, memesan segelas air mineral dingin, lalu membuka Internet dan mengetikkan beberapa kata dari satu kalimat yang saya ingat, berikut nama penulisnya. Tidak sampai dua me-nit, puisi itu sudah terpampang di hadapan saya :

Ada sebaris kalimat dari Verlaine yang sekarang tak kuingat lagi.

“Ada jalan di dekat sini yang takkan bisa dilalui kaki-kakiku lagi, Ada cermin yang telah melihat wajahku untuk terakhir kali, Ada pintu yang telah kututup untuk penghabisan kali.”

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *