Legacy Mulyono banyak. Lebih banyak daripada tumpukan sampah di Pulogebang. Tapi saya hanya bicara beberapa disesuaikan dengan ruang yang tersedia. Salah satu “landmark” yang diwariskan Mulyono adalah proyek mercusuar IKN yang mangkrak. Proyek bernilai ratusan triliun ini dibiayai APBN atau uang rakyat yang amblas sia-sia.
IKN adalah representasi postur asli Mulyono: pikiran, gagasan, ambisi, karakter, over comvidances, kepongahan. Dengan pikiran sederhana bercampur ilusi, ia memaksakan pemindahan ibukota yang tidak popular, tidak urgen, tidak saintifik, dan mustahil dari sisi pendanaan. Untuk mendapat justifikasi ia memanfaatkan karakter culasnya. Katanya, proyek akan dikerjakan 1.200 perusahaan swasta. Faktanya, nol besar.
IKN adalah obsesi Mulyono untuk menampilkan dirinya lebih besar daripada Soekarno, Soeharto, dan SBY. Bukankah ketiga Presiden ini juga berniat memindahkan ibukota, tapi urung dilaksanakan setelah mempertimbangkan taruhan besar keselamatan negara? Bukankah utang besar akan melemahkan negara, membebani rakyat, dan menghambat kemajuan bangsa?
Mulyono hanya tertawa. Mereka gagal karena tak punya kekerasan hati. If you dream no dream small. Betul. Tapi mimpi besar harus berbasis priyoritas dan realitas objektif. Ketika kemiskinan dan dan pengangguran meluas akibat menurunnya kinerja ekonomi negara, maka prioritasnya adalah stimulus ekonomi dengan cara membesarkan ruang fiskal berorientasi kesejahterakan rakyat.
IKN hanya membuang-buang uang ketika utang negara kian membengkak gila-gilaan.Kepercayaan diri berlebihan biasanya datang dari orang ambisius yang tidak memiliki pengetahuan cukup untuk mengejar ambisinya. Banyak orang pandai yang sedari awal memperingatkan Mulyono tentang bahaya mengejar mimpinya. IKN bukan cara untuk pemerataan ekonomi yang jadi dalih Mulyono.
Sebaliknya, ia menjadi lubang yang mempersokkan bangsa ke dalamnya. Andaikan Mulyono mau belajar dari pengalaman negara-negara yang memindahkan ibukotanya pasti ia takakan nekat melakukannya. Seperti biasanya, karakter tidak bertanggung jawab Mulyono juga terlihat dari responsnya terhadap kritik publik atas pemborosan proyek ini.
Ia melempar tanggung jawab kepada rakyat sebagai pihak yang menginginkan IKN baru.Memang ada UU IKN hasil kolaborasi pemerintahdan parlemen. Tapi keledai pun akan setuju bahwa proyek mercusuar yang memiskinkan rakyat itu cermin dari hegemoni Mulyono atas lembaga tinggi negara untuk melayani khayalannya dan kepentingan oligarki.
Kesalahan Mulyono yang utama adalah ia mengenakan jubah longgar milik Soekarno. Dan merasa pantas saja. Soekarno memang punya banyak mimpi besar. Walakin, ditempatkan pada konteks zamannya ketika Indonesia sebagai bangsa baru perlu identitas kebangsaan yang kuat untuk menunjang politik luar negeri, maka pembangunan patung-patung, Monas, Gelora Senayan, Sarina, dan Masjid Istiqlal, menjadi kebutuhan politik, budaya, dan sosial.
Sementara IKN tidak bermakna apa-apa kecuali gelora ketololan orang yang ingin menjadi abadi sebagaimana para fir’aun membangun piramida. Berikut legacy lain Mulyono. Beberapa hari lalu, seorang pemuda songong berkeliaran di ruang publik mengenakan rompi bertuliskan“Anak Mulyono”. Pemuda itu secara biologis dan ideologis memang anak Mulyono.
Dus, dia jujur. Tapi di balik kejujuran yang diniatkan untuk mengolok-olok publik, sesungguhnya – tanpa izin generasinya — iamendeklarasikan dekadensi moralitas dan rasionalitas generasi milenial. Generasi yang diharapkan dapat menghela bangsa yang selalu dikalahkan oleh pemimpinnya ke cakrawala baru yang bersesuaian dengan tuntutan zaman yang dinamis dan volatile.
“Anak Mulyono” adalah antitesa dari sikap tawaddu anak presiden-presiden sebelumnya. Ketika ayah mereka dicerca publik, mereka menepi untuk membiarkan gelombang amukan bekerja sesuai hukum sosial. Mereka menyadari ada yang mengagumkan dari ayah mereka, tapi yang melenceng pun diakui. Dengan begitu, ada hikmah yang bisa diambil sebagai pelajaran untuk mendewasakan bangsa ini. Tidak mudah, tapi harus ditelan untuk menyembuhkan jiwa yang luka.
“Anak Mulyono” mengambil jalan memberontak terhadap publik sebagai manifestasi idiologi yang ditanamkan ayahnya: the king can do no wrong! Dan bahwa keberhasilan seorang pemimpin bukan diukur dari kapasitasnya menjayakan negara, melainkan kemampuan menghadirkan ancaman terhadap lawan sebagaimana diajarkan Niccolo Machiavelli.
Ungkapan the king can do no wrong muncul dalam khazanah politik monarki yang hendak dibangun Mulyono. Adagium ini tertera dalam buku karya Presiden RI Ke-6 SBY. Judul lengkapnya “Pilpres 2024 dan Cawe-Cawe Presiden Jokowi. The President Can Do No Wrong.” Pemikiran ini dapat dikatakan sebagai alat kekuasaan penguasa untuk merekayasa warga negara.
Prokduk hukum Indonesia saat ini telah terkontaminasi pemikiran tersebut. Tidak heran warga menginginkan keseimbangan politik hukum untuk menuntut keadilan hukum penguasa” (Kanun, Vol. 20, No 2, 2018). Tapi ideologi ini tak bisa jalan – jalan tanpa berdusta. Dan dusta harus dilakukan terang-terangan dan terus-menerus untuk memberi efek “dipercaya”. Ini sejalan dengan pernyataan ahli propaganda Nazi, Joseph Goebbels, bahwa kebohongan yang dilancarkan berkelanjutan akan menjadi kebenaran.
Ini dikenal sebagai “illusory truth effect” atau efek kebenaran ilusi, yang merupakan fenomena — seperti kebohongan — yang diungkapkan terus-menerus sehingga khalayak percaya. Hasil penelitian Dr Lynn Hasher dan kolegenya dariTemple University pada tahun 1977 menyimpulkan, ketika seseorang mendapatkan sebuah isu, ia cenderung mempercayai informasi itu dengan cara yang paling sering dia percaya.
Inilah yang telah menjerat pendukung atau simpatisan Mulyono sejak awal ia berdusta. Bahkan, ketika ia mengatakan telah membikin mobil Esemka. Dusta yang sama dilakukan“Anak Mulyono” ketika mengaku hanya nebeng teman naik jet Gulfstream ke Amerika Serikat. Sayang dusta yang tidak cerdas ini justru makin meyakinkan publik bahwa telah terjadi gratifikasi dalam skandal ini.
Dengan kata lain ada unsur konflik kepentingan. Memang tidak masuk akal orang yang tidak jelas identitas maupun keperluannya ke AS, memberi tumpangan gratis kepada “Anak Mulyono”. Yang nyaris pasti, oligarki yang kekayaannya meningkat pesat berkat kebijakan Mulyono sedang melayani anaknya untuk mendapatkan imbalan yang lebih besar lagi. Inilah salah satu legacy Mulyono: melakukan KKN yang dilarang TAP MPR pasca reformasi.
Legacy berikut adalah premanisme. Sekelompok anak muda dengan wajah garang menerobos hotel untuk membubarkan diskusi ilmiah tentang legacy suram yang ditinggalkan rezim ngesot Mulyono, seolah mereka sedang membela tuhan pada zaman Perang Salib. Saya tidak tahu siapa dan dari mana mereka. Tapi pasti mereka datang dari lorong-lorong gelap, yang percaya hanya dukun – bukan dokter – yang dapat menyembuhkan orang sakit.
Ada yang menafsirkan pembiaran aparat atas insiden ini disebabkan di belakangnya ada Mulyono. Mulyono memang berpenampilan sederhana dan selalu tertawa renyah. Tapi substansi tawanya mengandung kelicikan dan ancaman, yang membuat semua pemimpin parpol terlihat seperti kucing basah.
Sebelumnya viral di medsos tentang premanisme terorganisasi bernama “Pasukan Berani Mati Pembela Mulyono” yang akan meluncur ke Jakarta untuk menantang siapa pun yang menyakiti Mulyono. Sudah pasti nyali mereka tak sebesar itu. Yang besar adalah ketololan mereka. Buat apa Mulyono dibela? Fakta bahwa mereka tak jadi datang menunjukkan boss mereka di pusat mencegahnya setelah test the water–nya menghasilkan respons negatif.
Terakhir, masalah Fufufafa. Ia kini menjadi beban pemerintahan berikutnya. Selain kapasitas intelektualnya bermasalah, ia mencemarkan nama baik tokoh-tokoh besar, termasuk Suksesor dan seisi keluarganya. Semua ini mendorong banyak oranh untuk mendesak Fufufafa dilengserkan, biar aib bangsa tak terus dipertontonkan di dalam dan luar negeri.
Dengan kata lain, celana dalam bangsa disimpan di gudang saja, bukan dipelihara di Istana yang merupakan etalase bangsa. Di atas segalanya, Fufufafa lahir dari skandal hukum, preseden yang berdampak besar pada tatanan hukum dan politik negara ke depan. Sebagaimana rezim Soeharto dilenyapkan dari sistem politik kita untuk menjadikan Indonesia lebih sehat dan cerdas melangkah ke depan, legacy rezim Mulyono pun harus dibersihkan.
Kerusakan yang ditinggalkan rezim Mulyono luar biasa besarnya, sehingga menganggapnya Business as usual menyulitkan bangsa menyongsong fajar baru berbasis nilai, bukan politik random berbasis keculasan dan kelicikan. Presiden berikut mendapat kesempatan sejarah untuk melakukannya. Kalau tidak, ia bukan negarawan yang dapat diandalkan to make Indonesia great again.
Tangsel, 7 Oktober 2024