Dalam acara temu kader Gerindra, di atas podium Prabowo bilang: “etik…etik…etik…ndasmu etik”. Langsung disambut riang gembira oleh para kader.
Bagi orang Jawa, baik Jawa Timur maupun Jawa Tengah, kata “ndasmu” itu punya dua konotasi. Konotasi candaan, dan konotasi umpatan kemarahan. Konotasi candaan, jika itu diungkapkan kepada kawan akrab dalam kelakar. Biasanya sambil ketawa ngakak. Mirip kata “juancuk” di Jawa Timur. Biasa diucapkan untuk candaan kepada teman akrab. Kalau ditujukan kepada orang lain, itu bukan candaan, tapi cacian. Mudah membedakannya
“Ndasmu” dalam pidato Prabowo itu adalah reaksi dari hasil debat capres (12 desember) lalu. Jauh dari arti candaan. Kata “Ndasmu” adalah ekspresi kemarahan Prabowo kepada Anies Baswedan, karena merasa ditelanjangi di acara debat capres. Prabowo sangat kecewa, karena Anies Baswedan, sosok yang pernah diusung di pilgub DKI Jakarta dan digadang-gadang menjadi cawapresnya, justru tampil sebagai riwal di pilpres. Lebih marah lagi, ketika dalam debat capres, Anies dianggap memojokkan Prabowo dengan sejumlah pertanyaan.
Kalau mau fair, sebenarnya Prabowo juga menyerang dan memojokkan Anies dengan bertanya soal polusi udara DKI. Apalagi, beberapa kali Prabowo juga ungkit pilgub DKI dimana Prabowo yang mengusung Anies. Any way, bukankah saling serang dan saling mematahkan argumentasi dalam debat, itu hal biasa? Itu adalah sesuatu yang natural di arena debat. Mestinya, tidak ada yang merasa diserang dan dipojokkan. Kalau ada capres, siapapun itu, merasa dipojokkan dan diserang oleh lawan debat, ini menunjukkan bahwa ia belum dewasa dalam demokrasi. Apalagi, kalau kemudian membawa materi debat ke luar arena. Ini menunjukkan secara mental ia memang tidak siap.
Komentar