oleh

Sofifi dan Janji yang Belum Ditunaikan

-OPINI-297 Dilihat

Mukhtar Adam, Om Pala Sidegon dan Ketua ISNU Maluku Utara

Ketika Reformasi 1998 mengguncang tatanan politik Indonesia, desentralisasi menjadi janji utama yang ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Tak berselang lama, Maluku Utara resmi ditetapkan sebagai provinsi baru melalui UU Nomor 46 Tahun 1999—provinsi pertama yang lahir dari Rahim Reformasi.

Baca Juga  Memakzulkan Gibran: Konstitusional dan Menyelamatkan Moral Bangsa

Dalam semangat perubahan itu, penentuan ibukota bukanlah prioritas utama. Yang penting bagi para demonstran saat itu hanyalah satu hal, bahwa Maluku Utara akhirnya berdiri sebagai provinsi sendiri, keluar dari bayang-bayang dominasi pusat kekuasaan di Ambon.

Di tengah perdebatan antar elite tentang lokasi ibukota, dari proposal Sidangoli, Jailolo, Malifut, hingga Ternate, menghasilkan kompromi politik: Ternate menjadi ibukota sementara, sedangkan Desa Sofifi, sebuah pemukiman pesisir kecil di Pulau Halmahera, ditetapkan sebagai ibukota definitif. Kompromi ini membuka babak baru dalam sejarah pemekaran daerah, “membangun ibukota dari desa”.

Baca Juga  Jika DPR Tidak Agendakan Pemakzulan Gibran. Itu Khianat!

Warisan Sejarah dan Beban Janji
Sofifi bukan kota lama dengan sejarah panjang pusat kekuasaan seperti Ternate, Tidore, Tobelo, Sanana, dan Bacan. Sofifi adalah desa administratif biasa, dengan infrastruktur terbatas dan konektivitas yang minim pada saat ditetapkan sebagai ibukota. Namun, di situlah letak makna simboliknya: bahwa pusat pemerintahan dapat lahir dari pinggiran.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *