Oleh: Hasan Bahta : Pengurus MARKAS.
Di tengah riak-riak laut Halmahera yang biru dan bentang perbukitan hijau yang memeluknya, Sofifi berdiri—tenang namun penuh harap. Ia bukan sekadar tempat biasa. Ia adalah ibu kota Provinsi Maluku Utara, sebuah status yang disandangnya sejak terbentuknya provinsi ini melalui Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999. Namun ironisnya, lebih dari dua dekade setelah penetapan itu, Sofifi masih seperti anak kandung undang-undang yang belum diakui sepenuhnya oleh keluarga besarnya. Ia hidup, namun seperti terasing di rumah sendiri.
Pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) Sofifi bukan sekadar wacana. Ia adalah amanah konstitusi, buah dari Undang-Undang yang lahir di masa reformasi, masa di mana harapan akan pemerataan pembangunan dan desentralisasi kekuasaan tumbuh subur. Dalam pasal-pasal UU No. 46 Tahun 1999, tersirat jelas niatan untuk menghadirkan keadilan wilayah melalui pembentukan daerah baru, termasuk Maluku Utara dan ibukotanya, Sofifi.
Lebih dari itu, keinginan untuk memekarkan Sofifi menjadi daerah otonom juga datang dari suara hati rakyat seluruh wilayah Oba Utara, Oba Tengah, Oba, dan Oba Selatan, serta penduduk lokal yang merasa bahwa status administratif Sofifi saat ini tidak mampu menopang potensi dan dinamika kawasan. Mereka mendambakan kota yang memiliki struktur pemerintahan mandiri, yang mampu menjawab langsung kebutuhan warga tanpa tergantung pada kota induk yang jauh secara geografis dan berbeda secara karakter sosial-budaya.
Komentar