oleh

SIL UI Mengangkat Isu Togutil Di Simposium International Kyoto.

-HEADLINE-905 Dilihat

Masa berburu Oiyata adalah masa berburu selama empat bulan selama musim panas hingga awal musim hujan, dari Juli hingga Oktober. Satwa liar yang diburu sebagai sumber protein utama adalah Kuskus Hias (Kuskus), Biawak Turquoise (Kadal monitor pohon), babi hutan. Pada akhir musim panas memasuki awal musim hujan para pemburu/penjebak akan berburu satwa liar seperti Rusa, Anguilla, Dusky atau Geelvink Gosok dan menangkap burung Nuri Elektus, Nuri Obrolan, Kakatua Putih untuk dijual. Hewan liar sebagai pengganti protein adalah Musang Melayu (Musang), Katak Kutil, dan Rangkong Blyth (Burung Taon).

Suku Togutil, sambung Fachruddin, memiliki kode etik dalam berburu, antara lain etika dalam menentukan daerah perburuan, etika dalam mengambil hewan buruan orang lain, dan etika dalam menghormati sesama pemburu melalui simbol yang dibuat dan disepakati bersama.

Baca Juga  Ulasan: Peran Strategis Bassam-Helmi dalam Mendorong Produk Lokal Halmahera Selatan Go Nasional

“Simbol berburu Odudunga berarti arah. Simbol berburu Omodoe Maduduga berarti petunjuk arah menuju lokasi perangkap/jerat. Ketika hewan buruan ditemukan oleh orang lain, maka orang lain akan mengambil sebagian dari hewan buruan tersebut. Simbol dalam pengambilan buruan milik orang lain berupa simbol berupa daun yang diletakkan terbalik di atas pohon yang disebut Obbugo. Pemburu melakukan ritual Omahiloa, artinya meminta izin dari pemilik tanah, pemilik pohon, pemilik hewan,” terangnya.

Baca Juga  HEADLINE : Foum CSS Menjadi Momentum : Ternate Gasak Target Kota Bebas Sampah 2030 dengan Strategi Inovatif dan Kolaborasi

Hewan liar yang diburu/ditangkap tidak hanya untuk dikonsumsi, tetapi juga dijual hasil buruannya. Nilai ekonomi dari hewan buruan tersebut dijual antarmasyarakat di desa dan dijual di pasar setempat. Mereka juga masih menggunakan sistem barter dalam aktivitas kehidupan sosialnya.

Para penjebak memiliki tiga periode berburu yaitu Obutanga, Ohinoto dan Oiyata yang disebut dengan pola 6-2-4. Jika pemburu/penjebak melihat bahwa populasi hewan utama berkurang maka mereka tidak berburu berlebihan. Pengaturan siklus perburuan melalui kalender ekologi perburuan telah dilakukan secara turun temurun.

“Pemburu/penembak dilarang menangkap/memburu mamalia yang sedang bunting/menyusui dan terdapat di dalam kandang/kandang,” imbuh Fachruddin.

Baca Juga  Dari Forum APKASI : Jakarta Terdiam Saat Bupati Bassam Kasuba Bicara : Wilayah Timur Itu Bukan Pinggiran

Ia menambahkan, studi ini merupakan studi pertama yang secara eksplisit menyelidiki aktivitas perburuan satwa liar yang dikonsumsi Suku Togutil di Pulau Halmahera.

“Penelitian kami menunjukkan integrasi nilai-nilai budaya ke dalam pengaturan siklus hidup satwa liar. Kalender berburu suku Togutil merupakan kalender yang digunakan para pemburu tradisional untuk menentukan waktu terbaik berburu. Kalender ini didasarkan pada pengamatan musiman dan perilaku satwa, serta berbagai faktor alam lainnya seperti cuaca, pergerakan bulan, posisi matahari dan siklus hidup satwa liar,” tandas Fachruddin.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *