Ketidaksenangan Mega dan Paloh terhadap Luhut bisa dimengerti. Kekuasaan Luhut begitu besarnya sehingga menteri-menteri PDI-P dan Nasdem mati kutu. Maka, kita melihat PDI-P sangat kritis terhadap semua kebijakan pemerintah yang terasosiasi dengan Luhut. Misalnya, PDI-P menentang keras penanganan pandemi covid-19 yang dipimpin Luhut.
Nampaknya, upaya menggunakan tangan pengadilan untuk menyukseskan wacana penundaan pemilu akan mentah lagi. Tapi tidak berarti itu merupakan usaha terakhir Luhut-Jokowi. Sikap PKS yang hingga hari ini masih terbata-bata dalam mencapreskan Anies harus dibaca dalam kerangka ini.
Sosok Luhut juga yang membuat hingga hari ini PDI-P belum mau bergabung dengan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) maupun Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (Gerindra-PKB). Pasalnya, belakangan ini hubungan Prabowo-Luhut — yang sempat mendingin karena Luhut menolak permintaan Prabowo agar mendukungnya pada pilpres 2014 — akrab kembali.
Sebenarnya hubungan keduanya sangat erat saat masih aktif di militer. Luhut adalah atasan Prabowo. Membaiknya hubungan mereka atas inisiatif Luhut karena ia melihat temannya itu merupakan aspiran capres yang potensial. Sangat mungkin, atas ide Luhut, belum lama ini Jokowi memberi isyarat mendukung Prabowo.
Pada kesempatan lain, Jokowi juga memberi sinyal pada aspiran capres lain, misalnya pada Ganjar Pranowo dan Airlangga Hartarto. Motifnya, baik Luhut maupun Jokowi, adalah ingin tetap punya pengaruh pada pemerintahan mendatang siapa pun yang akan mengganti Jokowi — kecuali Anies Baswedan — kalau saja upaya mereka menunda pemilu tidak berhasil.
Kalau Jokowi tak bisa berkuasa lagi, setidaknya Luhut masih terpakai sebagai menteri. Dengan demikian, syahwat kekuasaan dan kepentingan Luhut-Jokowi terjaga. Tetapi kedekatan Luhut-Prabowo justru merugikan Prabowo karena membuat PDI-P ragu untuk mengusungnya. Bisa jadi Prabowo yang “lugu” baru tersadar bahwa ia dimanfaatkan Luhut. Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa. Memasang jarak dengan Luhut dan Jokowi pada saat ini bisa membuat ia terusir dari kabinet. Maka, Prabowo menjadi politisi paling konyol dalam sejarah Indonesia. Sebab, bila ditendang dari kabinet, pengorbanan Prabowo meninggalkan pendukungnya untuk bergabung dengan Jokowi menjadi sia-sia. Sudah ditinggal simpatisannya, kini kehilangan efek ekor jas Jokowi.
Mega dan Paloh juga tak melirik KIB karena di sana ada tangan Luhut. Dialah yang memaksa terbentuknya koalisi itu untuk menjadi sekoci bagi Ganjar.
Dalam konteks syahwat kekuasaan, duet Luhut-Jokowi membuka berbagai front untuk mencangkokkan pengaruh alias menanam saham politik pada bakal capres potensial: Prabowo, Ganjar, dan Airlangga Hartarto. Namun, semua bakal capres ini tidak menjamin kemenangan kecuali Anies disingkirkan dari kontestasi pilpres. Diamnya Mega dalam penyingkiran Anies — yang akan menimbulkan pertanyaan mengenai legitimasi pemilu — mungkin menunjukkan dia tak keberatan dengan ide itu. Toh, Anies juga ancaman bagi syahwat kekuasaan PDI-P. Mengapa Anies mau dikorbankan dan mengapa Paloh gigih mencapreskannya? Pada pilgub DKI Jakarta, Nasdem mendukung Ahok, bukan Anies.
Luhut-Jokowi menentang Anies karena dia satu-satunya bakal capres yang punya visi sendiri tentang Indonesia pasca Jokowi. Artinya, Anies adalah antitesa Luhut-Jokowi sehingga tidak menjamin kepentingan mereka. Paloh berpaling ke Anies juga tak lepas dari sosok Luhut. Mendukung salah satu dari tiga bakal capres tersebut di luar Anies sama artinya dengan melestarikan kekuasaan Luhut.
Karena Nasdem penentu nasib politik Anies, maka tak heran Luhut-Jokowi membujuk, menekan, dan mengancam Nasdem. Misalnya, ancaman mengeluarkan menteri-menteri Nasdem dari kabinet atau mengkriminalkan mereka. Upaya menjadikan Menko Kominfo Johny G Plate tersangka korupsi bisa dilihat sebagai tekanan itu.
Komentar