Ternate, 3 November 2025
Di sebuah warung kecil di bilangan Gamalama, Ternate, seorang tukang ojek menyesap kopi hitamnya sambil mengeluh pelan. “Sekarang pajak motor naik lagi. Tapi jalan masih berlubang, lampu jalan mati, dan bensin makin mahal,” gumamnya.
Keluhan sederhana itu mungkin terdengar sepele. Tapi di baliknya, tersimpan potret getir tentang bagaimana rakyat kecil menjadi tulang punggung utama pendapatan daerah — sementara pejabat di atas sana berpesta dengan uang yang sama.
Pajak Rakyat, Kemewahan Pejabat
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Provinsi Maluku Utara Tahun 2026 memperlihatkan wajah buram keadilan fiskal.
Dari total Rp2,8 triliun APBD, Rp1,2 triliun di antaranya berasal langsung dari pajak dan retribusi rakyat kecil. Mereka yang setiap hari berjuang di jalanan, di pasar, di laut, dan di kebun.
Namun, sektor tambang dan industri besar — yang menguasai lebih dari 52,44% perekonomian Maluku Utara — hanya menyumbang Rp683,28 miliar melalui Dana Bagi Hasil (DBH).
Sebuah ketimpangan yang, menurut Dr. Said Assagaf, pengajar Manajemen Publik di Pascasarjana UMMU Ternate, “mencerminkan imoralitas fiskal yang merusak kepercayaan publik.”
“Esensi pajak berubah menjadi bentuk imoralitas fiskal ketika anggaran publik dialihkan untuk kepentingan perut dan kemewahan pejabat,”
Dr. Said Assagaf
Desentralisasi yang Salah Arah
Ketika desentralisasi fiskal diperkenalkan, rakyat berharap otonomi daerah akan membawa keadilan dan pemerataan pembangunan. Tapi dua dekade kemudian, harapan itu justru terbalik.
“Desentralisasi di Maluku Utara berubah menjadi autonomi konsumtif,” kata Said, yang juga mantan Kepala Bappeda Kota Ternate.










Komentar