“Gibran itu tidak lahir dari rahim partai atau organisasi politik yang matang. Ia lahir dari keluarga penguasa. Ini bukan hubungan politik yang setara, tapi hubungan patronase,” kata Muslim.
Dengan posisi seperti itu, Gibran sulit membangun legitimasi politik mandiri. Ia tidak punya basis sosial, partai, maupun gerakan ideologis yang mendukungnya di luar pengaruh Jokowi.
“Kalau suatu saat Jokowi dan Prabowo berbeda arah, Gibran akan terjebak di tengah. Itu yang dimaksud Muslim Arbi sebagai duri dalam daging,” lanjutnya.
Di atas kertas, posisi wakil presiden di Indonesia adalah pendamping yang berfungsi membantu presiden. Namun dalam praktik politik, Wapres sering menjadi alat kompromi elite, simbol koalisi, atau bahkan insurance policy bagi stabilitas politik.
Dalam kasus Gibran, simbolisme itu jauh lebih kuat ketimbang fungsinya.
Ia melambangkan keberlanjutan pengaruh Jokowi sekaligus jembatan antara generasi lama dan generasi baru. Namun, simbol yang terlalu kuat kadang menjadi beban bagi realitas kekuasaan.
“Prabowo butuh Gibran untuk menjaga stabilitas politik, tapi Gibran juga bisa menjadi beban jika muncul ketegangan dengan basis lama Jokowi,” kata Muslim.
Bagi Prabowo, tantangan utama bukan hanya menjalankan pemerintahan yang efektif, tetapi juga menjaga
keseimbangan antara loyalis lama dan kekuatan politik baru. Dalam konteks itu, keberadaan Gibran bisa menjadi faktor krusial—antara penyeimbang atau batu sandungan.
“Kalau Prabowo bisa mengelola Gibran dengan baik, ini bisa menjadi model regenerasi politik yang elegan. Tapi kalau salah urus, bisa pecah di tengah jalan,” ujar Muslim Arbi.
Komentar