Muslim Arbi menilai, polemik ini seharusnya dijawab secara transparan.
“Kalau memang benar tidak ada masalah, kenapa tidak dibuka saja ke publik? Kalau dibiarkan, publik akan menilai ada sesuatu yang disembunyikan. Itu bisa menggerus kepercayaan terhadap pemerintahan Prabowo,” ujarnya.
Muslim menilai, isu ijazah ini tidak hanya soal administratif, tetapi juga soal trust atau kepercayaan terhadap legitimasi kepemimpinan nasional. Dalam konteks demokrasi, legitimasi bukan hanya soal legalitas hasil pemilu, tetapi juga persepsi publik terhadap integritas personal pejabat negara.
Sumber internal yang dekat dengan lingkaran pemerintahan menyebut, hubungan antara Prabowo dan Gibran sejauh ini berjalan formal dan berhati-hati.
“Tidak ada konflik terbuka, tapi juga belum tampak keintiman politik seperti presiden dan wakil presiden pada umumnya,” kata seorang pejabat senior yang enggan disebut namanya.
Menurutnya, Prabowo tetap menghormati Gibran sebagai wakil presiden, namun jarang melibatkan putra Jokowi itu dalam pengambilan keputusan strategis.
“Banyak agenda kenegaraan yang dijalankan Prabowo tanpa kehadiran Gibran. Wapres lebih sering diundang dalam acara seremonial atau kegiatan sosial,” ujarnya.
Situasi ini, menurut Muslim Arbi, justru memperkuat kesan bahwa peran Gibran di pemerintahan sangat terbatas, sementara simbol politiknya terlalu besar.
“Ini ibarat dua sisi mata uang. Ia tidak punya kekuasaan nyata, tapi kehadirannya menciptakan bayangan panjang Jokowi di tubuh pemerintahan Prabowo,” kata Muslim.
Dalam tradisi politik Indonesia, hubungan antara presiden dan wakil presiden kerap menjadi cerminan keseimbangan kekuasaan antara kelompok besar. Contohnya, hubungan SBY-JK (2004–2009) dan Jokowi-JK (2014–2019) menunjukkan adanya dinamika “check and balance” yang sehat. Namun dalam konteks Prabowo-Gibran, keseimbangan itu tampak rapuh.
Komentar