oleh

BANGKRUTNYA ZIONISME DAN PENYELAMATAN ISRAEL

-OPINI-117 Dilihat

Smith Alhadar : Penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)


Sebelum  7 Oktober 2023, proyek Zionisme, yaitu pembentukan “Israel Raya” di seluruh wilayah historis Palestina, berpotensi terwujud. Di periode pertama pemerintahanya, Presiden AS Donald Trump meluncurkan Abraham Accord yang diniatkan membawa seluruh negara Arab menormalisasi hubungan dengan Israel. Kini, pasca tercapainya gencatan senjata fase pertama Hamas-Israel yang rapuh, Trump kembali menghidupkan gagasan ini. Berhasilnya Abraham Accord membawa empat negara Arab menormalisasi hubungan dengan Israel pada 2020 tak bisa dilepaskan dari geopolitik regional saat itu.

Isu Palestina bukan lagi prioritas. Iran, yang membangun poros perlawanan melalui proksi-proksinya di Timur Tengah dilihat  negara-negara Arab sebagai ancaman nyata. Maka, membangun aliansi dengan Israel merupakan keniscayaan geopolitik regional untuk mengimbangi Iran, yang dituduh Israel dan AS sedang membangun senjata nuklir. Israel saat itu adalah elang yang mendominasi langit Timteng. Bukan karena Israel bangsa unggul pilihan Tuhan yang ditakdirkan  mengendalikan bangsa-bangsa di kawasan,melainkan ia dilindungi secara politik, diberi impunitas dipasok berbagai senjata canggih, dan diberi kemudahan ekonomi oleh negara-negara Barat yang selama 2000 tahun mempersekusi orang Yahudi.

Dosa besar Eropa itu, yang berpuncak pada holocaust pada Perang Dunia II, dibayar dengan penyerahan tanah Palestina untuk tanah air bangsa Yahudi. Ironisnya, kaum Zionis mengklaim mereka mewakili peradaban Barat di tengah bangsa-bangsa di kawasan yang dituduhuncivilzeduntuk menjustifikasi kebiadaban mereka. Ini adalah ideologi kolonialisme. Demi menjaga dukungan Barat, Israel mengklaim diri sebagai negara demokratis pendukung tatanan internasional guna mendukung imperialisme, kapitalisme, dan hubungan hegemonik antar bangsa.

Kenyataannya, semua konvensi PBB hanya berlaku sepanjang instrumen-instrumen itu menguntungkan mereka. Maka, genosida di Gaza dibenarkan, tapi kejahatan perang Rusia di Ukraina ditolak. Keputusan Penyidik PBB bahwa Israel telah genosida tidak digubris. Arrest warrants yang dikeluarkan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) bagi PM Israel Benjamin Netanyahu justru diberi sanksi oleh AS. Padahal, AS mendukung arrest warrant untuk Presiden Rusia Vladimir Putin. Suara pro-Palestina di negara-negara Barat dibungkam dengan mengorbankan simbol-simbol peradaban Barat. Alhasil, genosida Israel bukan hanya mengungkap wajah sejati Zionisme, tapi juga mengungkap hipokrisi barat.

Baca Juga  SEJENAK HENING : SEBUAH CATATAN PENGANTAR.

Israel Redup

Bagaimanapun, nurani manusia tak bisa dilukai terus-menerus. Narasi pro-Israel pelan-pelan redup. Globalisasi yang menandai terhubungnya manusia dari aneka ras dan ideologi melalui teknologi digital membuat ethnic cleansing, dehumanisasi, dan genosida terhadap Palestina tak bisa lagi ditutupi. Holocaust yang dialami kaum Yahudi ditransfer Barat kePalestina. Ironisnya, untuk mendapat dukungan Barat atas kejahatannya, orang Israel mengukuhkan hubungan dengan partai-partai sayap kanan Barat yang dulu mempersekusi mereka.

Ethnic cleansing di Palestina bisa bertahan bertahun-tahun lantaran publik Israel dan Barat  menjustifikasinya. Tapi ketika narasi Israel bahwa ia adalah korban teroris Hamas runtuh, Israel kelimpungan. Pemerintahan Trump pun tak kuasa melawan tekanan internasional. Apalagi, AS dan sekutu Barat terlibat genosida yang dilakukan Israel karena, di balik retorika keprihatinannya, mereka tetap memasok senjata dan menjaga hubungan ekonomi dwngan Israel. Kini, resiliensi mereka mendukung Israel tak dapat dipertahankan.

Demi menjaga kepentingan politik domestik dan global, pemerintahan negara-negara Barat berbondong-bondong mengakui negara Palestina yang membuat AS kian terisolasi. Setelah memaksa Netanyahu menerima rencana perdamaian 20 poin Hamas-Israel, Trump menyasar Arab Saudi untuk ikut dalam perahu Abraham Accord. Tapi Timteng sudah berubah. Iran sudah dilemahkan dan poros perlawanan telah berantakan. Palestina kembali menjadi isu sentral negara-negara Arab-Islam. Saat ini tak ada negara Arab-Islam manapun yang bersedia bergabung kedalam Abraham Accord.

Arab Saudi bahkan menghidupkan Inisiatif perdamaian Arab yang diadopsi Liga Arab dalam KTT-nya di Beirut pada 2002. Inisiatif ini menawarkan perdamaian komprehensif Arab-Israel dengan imbalan Israel mundur dari seluruh tanah Arab yang diduduki, termasuk Yerusalem Timur, Tepi Barat, dan Gaza sesuai perbatasan tahun 1967. Tawaran Riyadh ini mengindikasikan ia tak yakin Israel akan mengimplementasikan kesepakatan fase pertama yang rapuh hasil perundingan tidak langsung Hamas-Israel yang dimediasi Turki, Qatar, Mesir, dan AS di Sharm el-Sheikh, Mesir, pada 10 Oktober.

Pada fase ini, Israel harus menarik pasukan kegaris kuning yang masih berada di 53 persen wilayah Gaza, perang dihentikan, pertukaran sandera Yahudi dengan tahanan Palestina, dan masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza tanpa hambatan. Kendati Trump menyatakan kesepakatan ini merupakan kemenangan historis Israel ketika berpidato di parlemen Israel (Knesset), sesungguhnya Israel tidak menang perang.Memang Gaza hancur lebur dan kemampuan politik dan militer Hamas melemah, tapi ia tetap eksis dan solid. Dus, tujuan perang Israel tidak tercapai. Realitas ini menghancurkan semua mitos kedigdayaan militer dan keadaban Israel.

Baca Juga  Mahfud MD pimpin Komite Independen usut Whoosh

Pelanggaran Kesepakatan

Penghancuran Gaza dan genosida tidak menggambarkan supremasi militer Israel, melainkan simbol kehancuran moralnya. Di luar isolasi International, Israel juga menghadapi pembelahan sosial, kerugian besar ekonomis,  dan kehilangan deterrencenya. Tapi tentu saja Netanyahu menampik bahwa Zionisme telah bangkrut.Kendati Trump menyebut kesepakatan ini akan menciptakan perdamaian abadi, kenyataannya jauh dari itu. Israel masih menyerang warga sipil dan menghambat masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza. AlasanIsrael: Hamas masih belum mengembalikan sisa jenazah sandera Yahudi.

Padahal, dalam perundingan, Hamas telah memberi tahu Israel bahwa pencarian sisa jenazah akan memakan waktu karena penghancuran Gaza telah mengubah geografi enklave itu. Sementara, Israel menolak masuknya ekskavator dan buldozer untuk membantu menemukan jenazah di bawah reruntuhan.Sikap berat sebelah Trump dan diamnya negara-negara penjamin implementasi kesepakatan, yaitu Mesir, Turki, dan Qatar, atas pelanggaran Israel dapat menimbulkan kemarahan publik mereka sendiri, dan merusak kredibilitas serta reputasi AS. Trump mengecam Hamas yang mengeksekusi delapan wargaGaza yang berkolaborasi dengan Israel.

Geng-geng kolaborator ini sengaja diciptakanIsrael untuk mendorong konflik internal di kalanganPalestina, ketika Israel sendiri gagal melakukannya.Awalnya, Trump mendukung Hamas mengamankansituasi pasca gencatan senjata, tapi kemudian balikbadan setelah tahu adu domba Israel di antara orang Palestina adalah skenario Israel. Bagaimanapun, tidakmudah bagi Israel untuk kembali berperang apapunalasannya kecuali Trump mendukungnya. Hal yang terakhir ini sulit dibayangkan karena momentumnyasudah hilang dan Trump ingin mendapatkan Nobel Perdamaian.

Memang terkiat perlucutan senjata Hamas pada fase berikutnya, Trump  mengancam akan menurunkantantara AS ke jalan-jalan Gaza untuk mendemiliterisasiHamas. Gertakan ini tidak akan efektif karena Hamas tahu berlanjutnya perang akan membuat Israel dan AS kian terpuruk tanpa menjanjikan kemenangan. Pada 7 Oktober 2025, Hamas bersama semua faksi Palestina mengeluarkan pernyataan bahwa mereka tidak akanmembiarkan diri dilucuti. Dalam kesepakatan Hamas-Israel, perlucutan senjata Hamas dan demiliterisasiGaza merupakan subjek perundingan.

Baca Juga  LITERASI

Pasalnya, bila kelompok bersenjata dilucuti, sementara Israel dan AS menolak legitimasi PresidenOtoritas Palestina Mahmoud Abbas, maka two-state solution hanyalah ilusi. Namun, di balik retorika anti-Hamas, baru-baru ini Trump mengeluarkan pernyataanyang mengejutkan bahwa rintangan bagi terwujudnyaperdamaian adalah Israel, bukan Hamas. Ini dikatakandalam wawancaranya dengan majalah TIME, terbitpada 23 Oktober lalu. Pada saat bersamaan, Trump mengutus para pembantunya ke Tel Aviv. Yang tibapertama adalah utusan khusus Timteng Steve Witkoff, lalu Jared Kushner (menantu dan penasihat politikTrump), kemudian Wakil Presiden AS JD Vance, dan Menlu Marco Rubio.

Semuanya membawa misi yang sama: memastikanIsrael patuh pada kesepakatan gencatan senjata. Lebihjauh, mereka mengecam langkah parlemen Israel (Knesset) meloloskan RUU tentang Aneksasi Tepi Barat. Trump bahkan mempertimbangkan akanmengunjungi Gaza dan membebaskan Marwan Barghouti dari penjara Israel. Bargouti ditahan sejak2002 karena dituduh terlibat Intifada II, 2004-2005. Kendati pemimpin teras Fatah, Barghouti didukungseluruh faksi Palestina. Tak heran, Hamas mencantumkan Barghouti dalam daftar untukdibebaskan Israel. Namun, di menit terakhir Netanyahu mencoret namanya.    

Di tengah ketiadaan tokoh Palestina yang punya legitimasi kuat untuk berunding dengan Israel bagitwo-state solution inilah yang mendorong Trump melirik Barghouti. Ini sikap yang masuk akal dan menjanjikan keberhasilan visinya menciptakanperdamaian abadi di Timteng. Tidak mudah memang. Tapi harus dilakukan. Toh, two-state solution harusditafsirkan sebagai upaya Trump menyelamatkan Israel dari kehancuran. Israel harus realistis bahwa upayanyamelenyapkan Palestina adalah proyek irasional dan barbarik. Padahal, kelanjutan hidupnya bergantung pada kesediannya berdamai dengan bangsa Arab dengan imbalan Palestina dimerdekakan. Tak ada opsi lain!

Tangsel, 24 Oktober 2025

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *