oleh

Menajemen Talenta ASN di Simpang Jalan

-OPINI-152 Dilihat

Anwar Husen : Pemerhati Sosial/ Tinggal di Tidore, Maluku Utara

_”Di Maluku Utara, mendokumentasikan, membaca dan menonton di setiap waktu potongan vidio pendek kisah serbuan KPK lalu, adalah salah satu pilar pembelajaran sejarah, sosial dan kepemimpinan daerah yang paling update sepanjang masa. Di samping tentunya, tragedi kerusuhan bernuansa sara puluhan tahun lalu itu. Kita tak boleh mudah lupa dan kembali tergelincir mengulang lagi dosa sejarah”_

Di Indonesia, tak banyak pengalaman kepemimpinan politik Pemilihan Kepala Daerah [Pilkada], mangajarkan bahwa hipotesa yang sering digembar-gemborkan sebelumnya berlabel visi-misi hingga kampanye menjajakan program, berbuah kepuasan publik. Tragisnya, fakta begini justru sering “error” di tahun pertama. Dan Parameter paling faktual adalah wajah APBD- nya, tahun ketika ekspektasi publik itu sedang panas-panasnya karena tersorot jutaan pasang mata. Bisa di bilang, baru di tahun pertamanya, “warna asli” itu dengan mudah sudah kelihatan. Mungkin pengalaman Anies Baswedan semasa memimpin DKI Jakarta, bisa diajukan sebagai salah satu contoh paling menonjol dan konsisten. Apa yang dijanjkan di masa kampanye, itu yang dipenuhinya.

Baca Juga  LITERASI

Di level kepemimpinan politik nasional [presiden],
Buni Yani, seorang peneliti media, budaya, dan politik Asia Tenggara, melalui salah satu artikelnya, baru saja menyoroti sikap Presiden Prabowo Subianto. Minimal dua sampel sikap yang diajukan, utang kereta cepat Whoosh di _take over_ negara dan penetapan tersangka terhadap Roy Suryo, dan kawan-kawan terkait dugaan ijazah palsu Mantan Presiden Jokowi yang heboh itu.

Di Maluku Utara, pekan-pekan terakhir ini, publik di sodorkan berbagai informasi “gugatan” dari berbagai pihak, soal arah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah [APBD] provinsi Maluku Utara, yang terbaca dari RAPBD yang beredar luas, yang dipandang tak rasional. Perdebatan ini, sedikit mereda, usai pelantikan beberapa pimpinan OPD dan pengesahan APBD daerah ini, untuk 2026.

Dan ini tentang pelantikan itu. Vidio pendek pelantikan para pejabat di lingkungan pemerintahan provinsi Maluku Utara, Kamis [06/11] itu singgah di sebuah WAG. Saya mengomentari iseng, Sukur Lila, yang seorang sarjana kehutanan, karir ASN- nya relatif linier di bidang ini, ternyata talentanya cocok di jabatan Asisten Administrasi Umum Setda Provinsi Maluku Utara. Juga pejabat lainnya, Kepada Dinas Lingkungan Hidup Facruddin Tukuboya. Berlatar disiplin tehnik dan Doktor Ilmu Lingkungan jebolan Universitas Indonesia [UI] ini, digeser. Fachruddin jadi Staf Ahli Gubernur Bidang Hukum, Politik dan Pemerintahan. Juga beberapa lainnya. Tapi dua sampel ini yang bikin menarik dikomentari. Ini karena, dalam berbagai kesempatan, pihak Badan Kepegawaian Negara [BKN] dan Gubernur Maluku Utara kerap membanggakan program Manajemen Talenta ASN sebagai tonggak reformasi birokrasi. Sistem ini disebut-sebut sebagai wujud modernisasi pengelolaan aparatur yang berbasis data, objektif, dan menjamin prinsip meritokrasi. Dengan pendekatan ini, setiap ASN diyakini akan ditempatkan di posisi yang sesuai dengan kompetensi dan potensinya, _the right man on the right place_.

Baca Juga  Soekarno dan Soeharto memang pantas sebagai Pahlawan Nasional

Mengutip berbagai sumber, talenta sendiri berarti kemampuan atau bakat alamiah khusus yang dimiliki seseorang sejak lahir, seperti bakat menyanyi, menari, atau berpikir kreatif. Secara lebih luas, “talenta” juga bisa diartikan sebagai keahlian atau kecakapan yang dikembangkan melalui latihan dan pengalaman. Wajar jika di balik retorika dan cerita indah itu, muncul sejumlah anomali yang mengundang tanda tanya. Kedua contoh tadi, setidaknya bukan sekadar soal rotasi jabatan, melainkan refleksi dari celah mendasar antara konsep dan realitas manajemen talenta di birokrasi kita. Semua itu, karena secara teoritik, manajemen talenta adalah proses strategis untuk mengidentifikasi, mengemb angkan, dan mempertahankan karyawan berkinerja tinggi agar sesuai dengan kebutuhan organisasi, serta mempersiapkan mereka sebagai pemimpin masa depan.

Baca Juga  Jokowi Wajib di Adili

Secara demikian juga, pengertian ini setidaknya menyisakan 2 hal: Pertama, jika kinerja dibedakan dari integritas diri, maka defenisi berkinerja tinggi belum tentu punya integritas diri yang terjaga. Kedua, berkinerja tinggi tetapi usia pensiunnya sebagai ASN tersisa 2 tahun, apa yang bisa diharapkan darinya sebagai pemimpin masa depan di usia 60 tahun.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *