Pemangkasan Transfer Keuangan Daerah (TKD) oleh pemerintah pusat memantik gelombang protes dari berbagai provinsi. Lebih dari sekadar soal angka anggaran, kebijakan ini mengusik fondasi keadilan fiskal dan menantang legitimasi otonomi daerah yang dijamin konstitusi.
—
Keadilan Fiskal yang Tergerus
Kebijakan pemangkasan TKD menimbulkan riak keras di daerah. Setidaknya 18 provinsi dikabarkan telah menyampaikan protes langsung kepada Menteri Keuangan Yudhy Sadewa Purbaya. Bagi mereka, kebijakan ini tidak hanya mengganggu kelancaran program pembangunan, tetapi juga menggerus wibawa pemerintah daerah di mata rakyat.
Ruang fiskal yang kian menyempit membuat kepala daerah kesulitan mendorong akselerasi pembangunan, sementara tuntutan infrastruktur dasar dan pelayanan publik terus meningkat. Dalam konteks ini, pemangkasan TKD bukan hanya soal efisiensi, tetapi soal keadilan dan hak konstitusional daerah.
—
Dalih Rasionalisasi yang Tak Menyembuhkan Luka Daerah
Pemerintah pusat mencoba meredam polemik dengan menjelaskan bahwa pemangkasan tersebut hanyalah bagian dari “rasionalisasi” dan tidak akan mengancam kondisi fiskal daerah. Istana melalui Menteri Sekretaris Negara bahkan menegaskan bahwa yang disesuaikan hanyalah komponen transfer tidak langsung, bukan keseluruhan TKD.
Namun, bagi daerah, dalih teknokratis itu tidak menghapus fakta bahwa arus fiskal benar-benar terhambat. Penjelasan yang tidak disertai transparansi dan dialog fiskal justru memperdalam krisis kepercayaan. Relasi antara pusat dan daerah kembali seperti masa sebelum reformasi: “subordinatif”, bukan kolaboratif.
—
Perspektif Konstitusional: Ketika Kekuasaan Mengangkangi Aturan
Komentar