TERNATE — Sorotan tajam terhadap dugaan penyimpangan anggaran tunjangan operasional dan rumah tangga pimpinan DPRD Maluku Utara kini menjalar ke level yang lebih tinggi. Pengamat kebijakan publik, Saiful Ahmad, menilai langkah hukum Kejaksaan Tinggi Maluku Utara (Kejati Malut) atas kasus DPRD justru membuka ruang pertanyaan baru tentang besarnya anggaran rumah tangga Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara, yang disebut mencapai Rp39 juta per hari.
“Kalau Rp2 juta per hari saja diperiksa, apalagi yang Rp39 juta per hari. Itu juga harus diperiksa, supaya penegakan hukum kita tidak tebang pilih,” tegas Saiful, Rabu (30/10).
Pertanyaan Hukum dan Kewajaran
Saiful menilai, Kejati Malut perlu memperluas cakupan penelusuran agar tidak berhenti pada level legislatif. Menurutnya, publik berhak tahu dasar hukum dan kewajaran dari alokasi anggaran rumah tangga pimpinan eksekutif.
“Pertama, harus dijawab dulu: apakah anggaran itu ada dasar hukumnya atau tidak. Kalau ada, apakah nilainya wajar atau tidak. Kalau tidak ada dasar hukum, maka jelas konsekuensinya adalah pelanggaran hukum,” ujarnya.
Ia menambahkan, persoalan tunjangan dan belanja rumah tangga pejabat publik bukan sekadar angka dalam dokumen APBD, tetapi juga menyangkut integritas dan akuntabilitas keuangan negara.
“Masalahnya sekarang bukan hanya soal nominal, tetapi soal legitimasi. Kalau dasar hukumnya lemah, maka penggunaan anggaran itu bisa masuk kategori penyimpangan,” kata Saiful.
Konflik Kepentingan di Tubuh DPRD
Selain menyoroti sisi eksekutif, Saiful juga mempertanyakan dinamika di internal DPRD Malut. Menurutnya, penanganan kasus ini tidak bisa hanya menempatkan satu orang sebagai pihak yang paling bertanggung jawab.










Komentar