Oleh : M. Guntur Alting
—
HANYA ada tiga polisi yang tidak mempan disogok ; patung polisi, polisi tidur, dan polisi Hoegeng.
Itulah “joke” yang populer di lingkungan para aktivis anti korupsi dan jadi viral ketika diungkap kembali oleh Gus Dur.
Kisah ini saya dengar lansung dari Mas Didit (Aditya Hoegeeng) anak ke-2 dari (alm). Jendral Hoegeng Imam Santoso. Kami bertemu di Kafe Solo Jeruk Purut. Sambil menyeruput kopi dan gorengan. Setelah kemarin mengunjungi ibunya “Mery Hoegeng” yang saya tulis pada esai (11/9-25).
Pertama kali mengenal sosok Jendral Hoegang saat saya membaca buku Yudi Latif “Mata Air Keteladanan : Pancasila Dalam Perbuatan”. Kisah keteladanan penolakan Jenderal Hoegang terhadap pemberian hadiah istri pejabat pada istrinya.
Saat berpisah, ia menyerahkan buku tentang ayahnya “Pak Hoegeng : Polisi Profesional dan Bermartabat” ditulis oleh para pegiat anti korupsi. Ada kesaksian dari beberapa tokoh seperti : Ali Sadikin, Kemal Idris, Yakob Utama, hingga pakar hukum seperti Satcipto Raharjo, Adrianus Meliala hingga Teten Masduki.
Sejarawan Asvi Warman Adam memberi pengantar buku ini dengan sangat indan menulis.” Polisi adalah institusi modern. Polisi tidak dikenal di dunia persilatan. Pada cerita silat Cina seperti dianalisis oleh Denys Lombard. Bila sebuah keluarga dibunuh musuhnya, maka si anak yang kebetulan selamat, akan berguru kepada tokoh sakti dan akhirnya balas dendam”.
Penulis Perancis, Casamayor, menyebutkan polisi adalah lembaga yang tidak tergantikan. “Polisi itu ibarat sepatu yang senantiasa dibu-tuhkan. Bila sepatu itu kemasukan air, apakah sepatu itu akan dibuang dan kita berjalan dengan kaki telanjang? Sepatu itu dikeringkan dengan menjemurnya, kalau ada yang sobek dijahit, tetapi sepatu itu tetap diperlukan untuk melindungi kaki dari beling, paku dan benda tajam lainnya.”
Persepsi seperti ini yang sebaiknya digaungkan kembali menghadapi berbagai tudingan terhadap kekurangan dan kele-mahan polisi dewasa ini. terlebih pasca peristiwa kematian Affan Kurniawan.
Dalam konteks ini, sangat relevan dike-tengahkan keteladanan jenderal polisi bernama Hoegeng untuk dicontoh. Bukan untuk kalangan polisi saja, tetapi masyarakat umum pun dapat belajar dari kisah kehidupan Pak Hoegeng.
Kisah yang penuh dengan nilai kejujuran, kerja keras dan kesederhanaan seperti yang tercermin dalam tingkah laku Hoegeng. Namun sayangnya nilai-nilai luhur itu yang kian memudar dikalangan anggota kepolisian
–000–
Sejak Pak Hoegeng mundur sebagai polisi sampai hari ini, telah berselang puluhan tahun.Sungguh waktu yang cukup lama, dan kepolisian Indonesia sudah mengalami banyak perubahan.
Bagaimana pun perbedaan kepolisian Indonesia pada masa Hoegeng dan sekarang, kualitas manusia Hoegeng tetap saja relevan untuk dibicarakan.
Aspek kualitas manusia itu melampaui batas atau dimensi waktu kapan pun. Karena itu ukuran-ukuran yang dilekatkan kepada manusia akan bernilai “sepanjang masa”. Ukuran tersebut antara lain adalah integritas, keju-juran serta keikhlasan. Ia bersifat abadi selama manusia ada.
Sejauh bacaan saya pada buku ini, menggambarkan.Untuk menjadi polisi, idealnya dimulai dari rekrutmen “bibit unggul” manusia calon polisi. Jadi sejak awal menjadi polisi diperlukan “orang-orang baik”. Berkualitas baik merupakan modal penting untuk jadi polisi.
Ini berkaitan dengan polisi yang dirumuskan oleh Satcipto Raharjo sebagai “senyawa” dari O2H, yaitu singkatan dari “otot”, “otak” dan “hati nurani”. Gabungan dari ketiganya sebagai persyaratan orang-orang baik tersebut, terutama faktor hati nurani yang membedakan polisi dengan profesi lainnya.
Ia selalu diingat sebagai polisi yang berbeda dan jadi teladan hingga sekarang. Berikut sejumlah kisah inspiratif sejak awal dia merintis karier hingga menjadi orang nomor satu di Korps Bhayangkara.
Pertama. Berantas Beking Kejahatan. Di tahun 1955, ketika belum menjadi Kapolri, Hoegeng mendapat perintah tugas ke Sumatra Utara. Di sana, ia mendapat tugas berat memberantas penyelundupan dan perjudian. Baru sehari mendarat di Pelabuhan Belawan, utusan seorang bandar judi sudah mendekatinya.
Komentar