oleh

Pembangunan Berbasis Inovasi dan Ekonomi Pancasila

-OPINI-103 Dilihat

Oleh Rokhmin Dahuri : Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan; Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI)dan Professor in Sustainable Development, Shinhan University, South Korea

Indonesia menatap tahun 2045 sebagai momentum krusial: satu abad kemerdekaan sekaligus tonggak pencapaian Indonesia Emas. Visi besar ini menargetkan Indonesia menjadi negara maju dan makmur, dengan PDB mencapai 7 triliun dolar AS (terbesar kelima di dunia) dan pendapatan perkapita sekitar33.000 dolar AS. Dengan jumlah penduduk 285 juta jiwa(terbesar keempat di dunia), kekayaan SDA melimpah, dan posisi geoekonomi yang sangat strategis, Indonesia sejatinya memiliki potensi pertumbuhan ekonomi sekitar 10 persen per tahun (Mc. Kinsey, 2017; Goldman Sach, 2020) dan sangat berpeluang menjadi negara maju, sejahtera, dan berdaulat pada 2045.

Namun, jalan menuju cita-cita tersebut tidaklah sederhana.Dengan pendapatan perkapita saat ini sebesar 5.000 dolar AS (negara berpendapatan menengah), untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045 perlu pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 persen per tahun.  Padahal, pertumbuhan ekonomi historis dalam dua dekade terakhir (2004 – 2024) rata-rata hanya 5 persen per tahun.  Lebih dari itu, angka kemiskinan pun masih tinggi, yang menurut BPS (2025) tercatat sebesar 8,47 persen atau 23,85 juta orang.  Sedangkan, berdasarkan pada garis kemiskinan versi Bank Dunia (2025), jumlah rakyat miskin Indonesia masih 176,7 juta jiwa atau 60,2 persen total penduduk.  Yang lebih mencemaskan, ketimpangan penduduk kaya vs miskin di Indonesia merupakan yang terburuk ketiga di dunia, dimana 1 persen penduduk terkaya memiliki total kekayaan setara dengan 50 persen total kekayaan negara (Oxfarm International, 2022).  Dan, 1 persen penduduk terkaya itu menguasai sekitar 62 persen luas lahan Indonesia (KPAI, 2024).  Ketimpangan ekonomi yang sangat tajam ini mencerminkan betapa masifnya praktik ‘serakahnomics’ di negara kita, suatu istilah yang baru-baru ini digaungkan oleh Presiden Prabowo.

 Maka, agar lulus dari jebakan negara-berpendapatan menengah (middle-income trap) dan menjadi negara maju dan makmur, pembangunan Indonesia haruslah berbasis inovasi dan Ekonomi Pancasila.  Penggunaan inovasi sains dan teknologi di industri manufaktur, pertanian, kelautan dan perikanan, kehutanan, ESDM, tata kelola pemerintahan, dan sektor kehidupan lainnya bakal meningkatkan daya saing dan pertumbuhan ekonomi yang lebih produktif, efisien, dan berkelanjutan. Sementara, nilai-nilai Pancasila yang mendasari geliat roda ekonomi dan industri nasional berbasis inovasi itu akan memastikan bahwa kemajuan, pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan dapat dinikmati oleh seluruh rakyat secara berkeadilan.

Baca Juga  DEMONSTRASI PUBLIK DAN KRISIS KETIDAKPERCAYAAN EKONOMI

Inovasi dan SDM

Dunia kini tengah menghadapi perubahan besar dan super cepat akibat: disrupsi teknologi digital (terutama AI, IoT, Blockchain, dan Robotics), triple ecological crisis (pencemaran, biodiversity loss, dan krisis iklim), eskalasi ketegangan geopolitik, perang dagang, serta disrupsi rantai pasok global. Semua dinamika global itu telah menyebabkan terkontraksinya pertumbuhan ekonomi dunia.  Selain faktor eksternal, di dalam negeri, persoalan fundamental seperti stunting, gizi buruk, pengangguran, kemiskinan, rendahnya produktivitas, deindustrialisasi, tata kelola SDA yang merusak lingkungan, dan korupsi masih menjadi penghambat utama pembangunan bangsa.

Di era dunia yang saling terhubungkan (highly interconnected), negara berpendapatan menengah (termasuk Indonesia) hanya bisa maju, sejahtera, dan berdaulat, bila ia memiliki daya saing; dan mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (rata-rata diatas 7 persen per tahun), berkualitas (menyerap banyak tenaga kerja), inklusif (mensejahterakan seluruh warga negara secara adil), ramah lingkungan, dan berkelanjutan (Porter, 2017; Sach, 2015; dan Romer, 2018). Dengan demikian, negara akan mampu menciptakan lapangan kerja bagi seluruh penduduk usia kerja, dengan pendapatan yang mensejahterakan diri serta keluarganya.  Menurut Bank Dunia (2025), pendapatan yang mensejahterakan minimal sebesar 1.020 dolar AS (Rp 16 juta) per bulan.

Penguasaan dan penerapan sains, teknologi, dan inovasi di semua sektor pembangunan adalah syarat mutlak untuk meningkatkan daya saing dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Negara-negara maju dan makmur, seperti negara-negara OECD, Uni Emirat Arab, Qatar, Singapura, dan China terbukti mengandalkan inovasi untuk meningkatkan Produktifitas dan daya saing, menciptakan industri bernilai tambah, menghasilkan pertumbuhan ekonomi inklusif, dan memperkuat kedaulatan nasional.  Dengan penguasaan dan aplikasi sains, teknologi, dan inovasi, Indonesia mulai sekarang harus melakukan TSE (Transformasi Strutural Ekonomi). Dari ekonomi yang selama ini sangat bergantung pada eksploitasi dan ekspor komoditas SDA mentah (seperti CPO, kakao, udang, ikan, lobster, rumput laut, batubara, nikel dan mineral lainnya), modal asing, dan buruh murah; ke ekonomi yang berbasis pada industri manufaktur (sektor sekunder), sektor primer (pertanian, kelautan dan perikanan, kehutanan, dan ESDM), dan sektor tersier (perdagangan, jasa, pariwisata, dan industri kreatif) modern berbasis inovasi yang ramah lingkungan.  Industri manufaktur berbasis teknologi tinggi termasuk chips, semikonduktor, komputer, kendaraan listrik, energi terbarukan, bioteknologi, nanoteknologi, new materials, dan industri maritim juga harus terus diperkuat dan dikembangkan.

Baca Juga  Ekonomi Maluku Utara Vs Nasional Triwulan II-2025

TSE dan industrialisasi berbasis inovasi diatas memerlukan SDM unggul yang mampu menguasai dan menerapkan sains dan teknologi.  Untuk itu, Indonesia mesti mentransformasi sistem pendidikan dan riset nya supaya lebih berorientasi pada kebutuhan riil industri dan masyarakat serta mampu menghasilkan SDM unggul. Kemampuan literasi, numerasi, sains, analisis, dan pemecahan masalah harus ditingkatkan secara signifikan, mulai dari tingkat SD hingga Perguruan Tinggi. Proporsi jumlah mahasiswa di berbagai program studi yang terkait STEM (Science, Technology, Engineering, danMathematics) yang selama ini hanya 35 persen harus ditingkatkan menjadi sekitar 60 persen, seperti halnya di negara-negara maju, termasuk Singapura dan China (Crawley, et.al., 2020. ”Universities as Engines of Economic Development).  Ekosistem riset dan inovasi terpadu melalui kolaborasi pemerintah, Perguruan Tinggi, industri, masyarakat, dan media masa (Penta Helix) juga harus terus diperkuat dan dikembangkan.

Fondasi Ekonomi Pancasila

Di balik inovasi, pembangunan Indonesia tidak boleh kehilangan jati diri. Ekonomi Pancasila adalah model yang menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama, bukan sekadar akumulasi kapital. Sebagaimana disampaikan Presiden Prabowo pada saat membacakan Nota Keuangan di hadapan Sidang Paripurna DPR RI pada 15 Agustus 2025, prinsipnya selaras dengan Pasal 33 UUD 1945: perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan; cabang produksi yang penting dikuasai negara; serta bumi, air, dan kekayaan alam dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dalam kerangka ini, pembangunan ekonomi Indonesia harus: (1) berorientasi pada keadilan sosial, memastikan pertumbuhan tidak menimbulkan jurang ketimpangan; (2) mendukung ekonomi kerakyatan, dengan memperkuat koperasi, UMKM, petani, nelayan, dan buruh supaya semua memiliki kapasitas produktif dan hidup sejahtera; (3) mengutamakan keberlanjutan, agar generasi mendatang tetap menikmati SDA dan lingkungan hidup yang berkualitas; dan (4) memadukan nilai religiusitas dan etika, sehingga pembangunan tidak hanya mengejar materi,tetapi juga martabat, nilai-nilai kemanusiaan, dan kehidupan akhirat yang baik.

Baca Juga  Kader PPP: "ABM" atau "Asal Bukan Mardiono"

Salah satu contoh dari Ekonomi Pancasila adalah pemanfaatan dan pengelolaan SDA berdasarkan pada  Pasal 33 UUD 1945 . Menurut penelitian oleh ITB dan UI bekerjasama dengan KPK pada 2015, bahwa bila pengelolaan sektor ESDM (seperti migas, batubara, panas bumi, nikel, emas, tembaga, bauksit, bijih besi, dan mineral lainnya) berdasarkan pada Pasal 33 UUD 1945.  Yakni, perusahaan swasta sebagai operator dalam skema ’Contractor Production Sharing’ yang bekerja dibawah otoritas negara (BUMN atau Danantara), bukan diberi IUP (Izin Usaha Pertambangan) atas suatu wilayah pertambangan (concession area) berdasarkan sistem kapitalisme (’serakahnomics’) seperti yang berjalan selama ini. Maka, keuntungan bersih (pendapatan negara) mencapai Rp 7.900 trilyun per tahun.  Sedangkan, dengan sistem kapitalisme, negara hanya mendapatkan royalti sebesar Rp 1.000 trilyun per tahun.  Rencana APBN 2026 yang disampaikan Presiden Prabowo pada 15 Agustus hanya sekitar Rp 3.700 trilyun.  Bayangkan, jika dari Rp 7.900 trilyun itu, Rp 5.000 trilyun digunakan untuk menambah APBN dan Rp 2.900 trilyun untuk membayar utang luar negeri.  Maka, kapasitas fiskal kita untuk membangun SDM termasuk MBG, kesehatan, pendidikan, Sekolah Rakyat, riset dan inovasi; infrastruktur; swasembada pangan dan energi; Kampung Nelayan Merah Putih; Kampung Budidaya Merah Putih; Koperasi Merah Putih; hilirisasi dan industrialisasi untuk menciptakan lapangan kerja (job creation); dan program pembangunan lainnya, bakal berlipat ganda dan impactfull.  Selain itu, dalam tiga tahun kita akan dapat melunasi semua utang luar negeri.  Merdeka dari utang.

Oleh karena itu, bila inovasi dijadikan mesin pertumbuhan ekonomi dan dan Pancasila dijadikan arah, maka visi Indonesia Emas 2045 bukanlah mimpi kosong alias ’omon-omon’. Pertumbuhan ekonomi yang inklusif akan melahirkan kelasmenengah produktif, daya saing global, serta kedaulatan bangsayang kokoh. Indonesia dapat menjadi kekuatan ekonomi ke-5dunia dan semua rakyatnya hidup sejahtera, sekaligus tetapberakar pada nilai kebangsaan, kemanusiaan, dan spiritualitas. Kini, yang dibutuhkan adalah kepemimpinan negarawan, konsistensi kebijakan, dan partisipasi seluruh elemen bangsa. Inovasi tanpa nilai akan melahirkan kesenjangan, sementara nilai tanpa inovasi hanya akan berakhir pada romantisme. Perpaduan keduanya adalah jalan terbaik untuk membawa Indonesia menuju puncak kejayaannya pada 2045.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *