Sekecil ataupun sesederhana apapun sebuah ‘peristiwa’ yang terlintas,selalu saja terbentang seribu pesan inspirasi,pelajaran dan hikmah bagi setiap kita.
Namanya mungkin Kadir.kami menyapanya Dade.Malam itu (27/07/2021),ketika melewati tempat nongkrongnya menonton televisi di depan rumah tetangga sebelah, saya sempat bertemu beliau,pria paruh baya ini adalah muadzin tetap pada masjid Al-Insan di kompleks kami di Tomagoba,Tidore.
sekitar setengah jam kami cerita ‘kongko-kongko’.kebetulan sudah lama saya ingin ‘mengingatkan’nya tentang satu hal : nada dasar adzan dhuhur.maksudnya,dia sering ‘hilang’ kontrol dan menyamakan ‘nada dasar’ dhuhur dengan magrib.kadang dia adzan semampu suaranya hingga saat ‘reffrein’ di “hayya alash sholah”, suaranya terdengar parau.di samping memang terdengar agak ‘mengganggu’,juga karena saya pikir ada efeknya nanti terhadap gangguan infeksi pita suara yang juga membahayakan bagi kesehatannya.
Saya seringkali sensitif pada hal-hal begini.bukan apa-apa tetapi kebetulan saja saya sedikit punya “pembanding” pernah lama hidup “bertetangga” dengan masjid,jauh sebelum ini bahkan dari masa kecil : rumah kakek dari bapak saya di kelurahan Topo,Tidore,tiris atapnya nyaris bersambungan dengan atap masjid.sedikit masa kecil saya di habiskan di masjid ini.maklum anak-anak,masjid tidak sekedar jadi tempat sholat berjamaah.sesekali,tempat “bermain”.rumah kakek saya dari garis ibu di kelurahan Soadara,bersebelahan dengan masjid.sama seperti di Topo,masjid juga jadi tempat “wisata” di sedikit masa kecil saya.apalagi waktu ramadhan yang teramat berkesan hingga saat ini.sedangkan rumah orang tua saya di kelurahan Gamtufkange,bertiris nyaris tersambung dengan mushollah Nurussabah di kompleks kami,Garolaha.di saat jum’at ataupun menjelang ramadhan,”stanya” (bangunan kecil) depan masjid Gamtufkange,jadi tempat kami berebutan memukul beduk tanda masuk waktu jum’at ataupun jelang 1 ramadahan.bisa di bilang,sedikit banyak saya tumbuh dan besar berpaut dengan “kultur” ini.lantunan suara pengajian (dan terjemahan) dari qari dan qariah seperti Muhammad Dong,Nanang Qosim,Muammar Z.A,Maria Ulfa dan lain-lain dari toa masjid dan mushollah,sedikit banyak jadi media belajar sekaligus kenangan masa kecil yang mengesankan.saya jadi sadar ada ungkapan yang “membenarkan” tempat bermain masa kecil di masjid tadi bahwa masjid tanpa anak-anak tak ubahnya pekuburan.
Umumnya di ” kampung”,termasuk kampung orang tua,masyarakatnya memang relatif homogen.masjid menjadi sarana ibadah sekaligus sarana membangun ukhuwah.mereka sepertinya menyadari benar bahwa masjid itu di bangun dengan kekuatan swadaya,solidaritas dan semangat ukhuwah yang kuat jadi tak akan ada artinya jika kelak modal sosial yang teramat mahal ini hilang seketika hanya karena ada pihak yang seolah sengaja meletakan “kepemilikan” di dalamnya.tidak ada yang merasa paling “berkuasa” atasnya,mereka sadar hakikatnya.semua berlangsung harmoni.
Komentar