oleh

AMERIKA, ISLAM, DAN PILPRES INDONESIA

Pada 15 Februari lalu, Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Sung Yong Kim menghebohkan negeri ini ketika mengunjungi markas Partai Keadilan Sejahtera ( PKS) untuk bertemu Presiden PKS Ahmad Syaikhu. Kehebohan ini bisa terjadi lantaran dua faktor berikut.

Pertama, AS terlanjur dicitrakan sebagai kekuatan anti-Islam. Ini terkait dengan kebijakan-kebijakannya yang dipandang merugikan umat Islam. Terutama setelah tragedi 9/11. Begitu pemuda salafi jihadi (baca: Wahabi) asal Arab Saudi menyerang AS pada 11 September 2001 — menewaskan hampir 3.000 orang — Islamfobia menguat di negara itu.

Sebelumnya AS sudah trauma dengan kemunculan kekuatan Islam pasca revolusi Iran 1979. Rezim mullah mengadopsi kebijakan anti-AS. Dan pada 1983, Iran mensponsori berdirinya milisi Hizbullah di Lebanon untuk mengusir AS dari sana.

Tak lama setelah dibentuk, Hizbullah melakukan serangan bom bunuh diri menggunakan truck ke barak militer AS di sana, menewaskan lebih dari 300 personel marinir AS. Ini merupakan bom bunuh diri pertama yang nantinya menyebar di kalangan jihadi sebagai metode perjuangan mereka.

Baca Juga  Ditinggal Jokowi, PIK 2 Dihajar Massa

Maka pasca 9/11, Gedung Putih melancarkan kebijakan “war against terrorism” di berbagai negara Islam. Afghanistan dan Irak menjadi korban invasi AS. Belum lagi Al-Qaedah berhasil ditundukan, muncul lagi kelompok salafi jihadi yang lebih ekstrem dan bengis: Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) sejak 2014.

Semua ini mematrikan kesan kuat pada AS bahwa Islam adalah agama yang kejam, meskipun sesungguhnya AS-lah yang secara tidak langsung menjadi penyebab kemunculan para teroris Muslim ini. Toh, mereka adalah para pemuda yang murka atas hegemoni AS di dunia Islam. Iklim Islamfobia di AS terus berlangsung hingga pemerintahan Presiden Donald Trump (2017-2021). Begitu menduduki Gedung Putih, Trump mengambil kebijakan kontroversial dengan menutup pintu AS bagi muslim yang datang dari enam negara Islam.

Kedua, di antara parpol-parpol berbasis Islam di Indonesis, hanya PKS yang dikenal kritis terhadap AS, terutama berkaitan dengan dukungannya yang konsisten terhadap perjuangan Palestina melawan kebijakan apartheid Zionis Israel.

Baca Juga  Video Hasto, Apakah Pepesan Kosong?

Tapi sejak Joe Biden menjadi presiden menggantikan Trump, kebijakan luar negeri AS berubah. Kebijakan anti-Cina diperkuat. Kini Cina dipandang sebagai kompetitor strategis yang mengancam demokrasi dan kepentingan AS.

Karena itu, berbagai kebijakan anti-Cina, yang terang-terangan mengaku berambisi menggantikan AS sebagai adidaya, diterapkan. Biden pun menggeser fokus AS dari Timur Tengah ke Indo-Pasifik di mana Cina semakin asertif dan agresif.

Tetapi kebijakan menghambat perkembangan Cina disadari tak akan efektif selama citra anti-Islam AS tetap bertahan. Penyebabnya, pertama, tidak tersedia kekuatan politik global untuk melawan pertumbuhan Cina kecuali Islam.

Kedua, pengaruh global AS mulai merosot seiring dengan munculnya kekuatan-kekuatan baru — selain Cina dan Rusia — seperti India, Indonesia, Turki, Afrika Selatan, Brazil, dan negara-negara Arab kaya.

Ketiga, negara-negara Eropa sekutu AS terpecah dalam menyikapi fenomena Cina yang peran ekonominya sangat menentukan bagi kemajuan Eropa. Ada yang menyambut perannya, ada pula yang mencurigainya sebagai kekuatan yang mengancam peradaban Barat. Bahkan, Israel pun membangun hubungan strategis dengan Beijing meskipun sudah diperingatkan AS.

Baca Juga  *Dukung PIK 2, Ah Lu Lagi...Lu Lagi...*

Keempat, kebijakan Cina merangkul negara-negara Muslim, termasuk Indonesia, cukup berhasil. Itu terlihat dari bungkamnya mereka terhadap perlakuan rezim komunis Cina atas etnis Muslim Uighur. Kemajuan Cina, pasarnya yang sangat besar, dan posisinya sebagai anggota tetap DK PBB pemegang hak veto, tentunya merupakan kekuatan yang dapat diandalkan untuk dijadikan pengimbang AS, seperti peran Uni Soviet di masa Perang Dingin.

Dan berbeda dengan sikap AS yang menghubungkan bantuan ekonomi dengan praktik demokrasi dan penegakan HAM, Cina sejauh ini menghindari intervensi urusan domestik negara lain dan mengobral investasi infrastruktur global melalui Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI).

Kelima, AS kian tidak populer di dunia Islam karena standar gandanya. Misalnya, ia toleran terhadap pelanggaran HAM berat Israel, tetapi sensitif terhadap perlawanan Palestina. Washington menutup mata terhadap pembunuhan Israel terhadap bangsa tertindas Palestina nyaris setiap hari, tetapi murka bila satu saja warga Yahudi yang tewas di tangan pejuang Palestina.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *