oleh

MUNAJAT TUKANG BAKSO

Tuhan,
Di pintu-Mu kami mengetuk! Saat penguasa kasak-kusuk melakukan makar, kembalikanlah kewarasan mereka. Bukankah Engkau mengatakan doa orang tertindas akan langsung diijabah?

Di tengah kondisi ekonomi yang mencekik leher kami, penguasa mencari jalan untuk berkuasa lebih lama. Ampun ya Allah, mereka ogah belajar dari kasus Kongo (2015), Venezuela (2017), dan Zimbabwe (2017). Di negara-negara itu meledak turbulensi sosial-politik akibat penguasa memperpanjang kekuasaan!

Kami juga yang akan memikul akibatnya. Saking sibuknya sampai-sampai penguasa meninggalkan tugas pokok mereka mengayomi kami. Juga untuk mengejar ambisi membangun proyek mercusuar yang tak ada hubungan langsung dengan hajat hidup kami.

Malah, hanya memperkaya oligarki dan mewariskan legacy yang diniatkan untuk kami kenang sepanjang masa. Anehnya, penguasa mengklaim semua ini dilakukan demi kami. Memang benar kami kurang faham politik, tapi jangan paksa kami untuk percaya bahwa negeri ini sekarang maju gilang-gemilang di bawah penguasa sekarang! Maju? Apanya yang maju? Bukankah hidup kami kian compang-camping belakangan ini?

Baca Juga  *Dukung PIK 2, Ah Lu Lagi...Lu Lagi...*

Mestinya kehebatan penguasa diukur dari tingkat kesejahteraan kami, bukan semaraknya infrastruktur! Tuhan, kami takut pada kepongahan semacam ini. Mereka bebal, tapi tak tahu dirinya bebal. Jahat tapi menganggap dirinya mulia. Bahkan, temanku yang kurus kering sampai bilang mereka lebih arogan daripada iblis.

Keadaan kami pasti akan bertambah sulit bila ambisi penguasa tak dihentikan. Tapi siapa yang bisa melakukannya? “Kingkong lu lawan!” Bahkan, elite politik ikut menari mengikuti irama gendang yang ditabuh penguasa. Dan sebagian teman kami terbujuk rayuan gombal. Bukan main jahatnya politik kekuasaan!

Tuhan,
Apakah pilpres jadi dilaksanakan? Seluruhnya gelap dan rahasia. Setan pun tak tahu. Sampai hati penguasa menciptakan situasi ini. Tapi mestilah kami bersyukur Engkau masih menjaga kewarasan sebagian dari kami, meskipun kami tak tahu sampai kapan kami bisa bertahan seperti ini.

Baca Juga  Info Buku (11) : GORESAN SANG ETNOGRAF

Tetangga saling mengingatkan bahwa tubuh kami makin kurus lantaran dipaksa berpikir sepanjang malam dan kerja berat di siang hari. Mau apa lagi, tak ada yang mau beli dagangan kami. Harga-harga bahan pokok melejit. Sebagian orang kehilangan pekerjaan. Maka bagaimana mungkin kami berharap bakso kami terjual?

Tentu orang kaya tak melirik kami. Lebih bergengsi makan fried chicken dan pitzza di restoran. Tak apa, perubahan sosial — yang merupakan sunnah-Mu — mengubah pula selera mereka. Karena miskin, rakyat — yang notabene adalah tukang bakso — tak punya kemampuan mengubah selera mereka. Mereka masih makan bakso!

Tentu kami bersyukur. Dengan begitu pasar kami masih terjaga. Sialnya, daya beli sesama tukang bakso menurun. Alhasil, hukum ekonomi seperti bersekongkol melawan kami. Mana mungkin kami bisa menaikkan harga bakso — seiring dengan kenaikan harga bahan-bahannya — untuk mempertahankan margin keuntungan.

Baca Juga  Video Hasto, Apakah Pepesan Kosong?

Dengan harga lama saja — yang telah menggerus margin keuntungan kami — tak banyak yang tertarik. Rasanya benar kata nenek bahwa sepanjang menjadi tukang bakso tak pantaslah kami bermimpi hidup sejahtera. “Sejak zaman Fir’aun, nasib kalian yang begini ini,” katanya sambil menyeka air mata.

Bahkan, seorang pemimpin parpol besar yang mengklaim diri sebagai pembela tukang bakso, dengan entengnya menghina kami. Anakku, ingat tak boleh kawin dengan mereka, yang keseluruhan eksistensinya, merupakan makhluk terkutuk. Begitulah kira-kira isi pikirannya. Kami tidak tahu harus menangis atau tertawa mendengar testimoni beliau.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *