oleh

NISAN-NISAN KALIBATA

-OPINI-125 Dilihat

Oleh : M.Guntur Alting

Makamkan Dirimu Di Tanah Tak Dikenal

– Muhammad Sobary

—-
SORE ITU, di bawah terik matahari yang muram. Saya tiba di gerbang Taman Makam Pahlawan Utama Kalibata.

Di sana, sudah berkumpul puluhan emak-emak berkaos seragam perpaduan merah dan putih, bersiap-siap masuk di area pemakaman.

Dulu, kerika dibangku Tsanawiyah Mareku. Menyebut atau mendengar nama makam Pahlawan Kalibata terasa ada getaran. Begitu sakral nan-agung. Ia adalah tempat jasad-Jasad para heroik dikuburkan.

Di makam inilah oleh para petinggi negara, ber-serimoni, melakukan renungan- diiringi alunan kidung-kidung suci di bawah temaram lampu di malam hari.

Baca Juga  Sofifi Bukan Kota Imajiner, Menolak Narasi Reposisi

Ketika di tahun-tahun awal di Jakarta, saya menempati apartemen Kalibata yang bersisian dengan Makam Pahlawan. Jika malam hari, saya menatap nisan-nisan itu dari ketinggian lantai 10 yang saat tertentu masih terlihat kunang-kunang yang berkedip-kedip di ranting-ranting pohon cemara yang tumbuh di pemakaman.

Bagi saya makam itu tetap masih berjarak dengan saya. Ia hanya bisa di ziarahi oleh para pejabat, keluarga, dan ahli waris para pahlawan.

Pada malam tgl 17 Agustus, sebuah pesan masuk melalui WatShap di ponsel saya :

“Salam Pak Guntur. Saya Pak Neo, Ketua umum GRN (Gerakan Rakyat Nusantara). Besok sore agenda ziarah makam Pahlawan Kalibata. Mohon dengan sangat hadir ya Bapak”.

Baca Juga  NASIONALISME KITA

Sejenak saya terdiam dan baru tersadar, saya masuk di jajaran pegurus organisasi ini

“Baik, saya akan hadir. Mohon dikirim “rundown ” acaranya ya..” Balas saya merespon permintaannya.

Hati saya bergumam ” kapan lagi punya kesempatan masuk ke makam para kusuma bangsa ini. Sekalian riset kecil-kecilan untuk mata kuliah Pendidkan Kewarganegaraan” bisik saya dalam hati.

Saya memang di dapuk oleh Pengurus Pusat Gerakan Rakyat Nusantara ( GRN) sebagai dewan pembina. Entah dari mana mereka dapat referensi tentang diri saya.

Awalnya saya menolak ” Anda akan kecewa karena rasa-rasanya waktu saya terkuras di aktivitas mengajar, meneliti, ceramah dan menulis. Saya tidak punya waktu yang cukup untuk organisasi ini” Demikian kata saya.

Baca Juga  Anies dan Gerakan Rakyat

“Sudahlah Pak, ga paapa, bapak kapan saja bisa aktif, sesuai dengan waktu bapak” kata sang Ketum sedikit memaksa. Akhirnya saya menyerah.

—000–

Di gerbang masuk, terlihat jajaran pengurus pusat berbaur dengan seluruh anggota. Saya disambut oleh sang ketum dan Sekum di Aula pendopo.

Kami akhirnya bergabung dengan segenap pegurus di undakan tangga gerbang yang meghadap ke jalan raya. Seluruh anggota yang di dominasi kaum Ibu, berdiri rapi mendengar pegarahan singkat dari ketua umum.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *