oleh

KAHMI DAN Konsolidasi Daerah (Catatan Jelang Pertemuan Regional MN -KAHMI Malut, Maluku dan Papua)

-OPINI-1014 Dilihat

Oleh A. Malik Ibrahim

Saatnya menata kembali pola pikir kita untuk Indonesia (AMI)”

Besok, Sabtu 23 – 24 Agustus 2025 di Kota Ternate akan berlangsung Pertemuan Regional Majelis Nasional KAHMI Maluku Utara, Maluku, Papua, Papua Barat, Papua Barat Daya dan Papua Selatan.
Wewenang apakah yang layak kita kritisi untuk menentukan desain masa depan dan nilai gerakan pemikiran Ormas Islam sebesar KAHMI (Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam) ? Terlalu lama negeri ini berada dalam lamunan budaya bisu.

Manakala kita mencoba mengingat-ingat kembali romantisisme gerakan perubahan pemikiran Alumni HMI, yang ujung-ujungnya menjadi mimpi buruk, bahwa idealisme kejuangannya sepertinya telah membeku sebagai sebuah artefak budaya.
Sebab, pada dasarnya apa yang saya sampaikan ini bukanlah sebuah igauan tetapi realitas rumit, yang begitu sensitif. Sebagai sebuah perspektif dari fenomena gerakan pemikiran, di mana peran strategis dan seberapa prestisius KAHMI di mata masyarakat. Hal ini seolah menyuguhkan kembali kehadapan kita kegelisahan, harapan sekaligus tantangan, bahwa ada entitas sosial yang lahir dari rahim HMI dan telah menghasilkan jutaan alumni potensial di semua bidang kehidupan, senyatanya hanya sebuah gigantisme yang tandus akan kesuburan ide dan gagasan perubahan.

Baca Juga  Tunjangan Perumahan DPRD DKI 70,4 juta, Aman !

Bagi saya, saatnya diperlukan definisi dan penjelasan baru untuk mendorong terwujudnya nilai-nilai atau keadaban civil society. Akan tetapi, apakah kemudian harapan ini memberi ruang kesadaran sebagai sebuah gerakan profetik, yang mengusung spirit perubahan atau sekadar umpan peluru yang digerakkan oleh elit yang berkuasa?
Untuk itu, dalam membaca perspektif peran KAHMI di tengah arus perubahan, maka sebetulnya adalah membaca fakta sejarah keprihatinan. Meski bukan suara dominan, tetapi semacam interupsi kesadaran bahwa KAHMI yang dipenuhi
gemerlapnya “orang-orang hebat” ternyata hanya pengekor jejak pragmatisme. Begitulah
potret KAHMI hari ini, dan mungkin juga potret masyarakat kita. Bagi saya, KAHMI telah gagal mentransformasikan perannya dalam kerangka idea of progress ke cultural movement tentang pentingnya kesadaran kemajemukan atau pluralisme. Dalam posisi gigantisme itu mereka larut dan tenggelam dalam pusaran
kekuasaan, bahkan melupakan kodratnya sebagai insan pencipta.

Baca Juga  Amnesti Prabowo kepada Hasto dan Abolisi Tom Lembong Sudah On the Track

Untuk itu, bagi saya diperlukan sebuah negasi. Sebuah sikap atau mainstream tentang idealisasi nilai gerakan KAHMI : integritas, etika, kejujuran, kerja keras, dan solidaritas. Dalam proses ini, nilai-nilai tersebut mengalami ketegangan, konflik, dan paradoks karena adanya keinginan untuk meninggalkan pijakan masa lalu sebagai rujukan tindakan dan nilai.

Sementara nilai-nilai yang disebutkan di atas yang akan dijadikan pegangan dalam menghadapi bayangan masa depan yang tak pasti belum bisa diraih dalam genggaman. Salah satu nuktah penting bagi KAHMI menurut Hasyim Abdul Karim
1 (Cimot) dalam membangun konsolidasi organisasi, program keumatan dan kebangsaan, haruslah bertumpu pada etika yang disebutnya sebagai kebajikan sosial. Bahkan klaim atas tujuan yang baik haruslah dibuktikan dan diabsahkan dengan cara-cara yang baik dan beretika.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *