Akhirnya, satu simpulan pahit pun mengendap dari diskusi itu:
Maluku Utara, miskin dalam bahagia.
Sebuah ironi yang lebih cocok jadi judul novel daripada laporan tahunan pembangunan. Tapi begitulah kenyataan yang sering tertutup rapat oleh statistik nasional.
Pidato Presiden, seolah menjadi semacam puisi politik yang berirama optimisme, tapi justru mengungkap paradoks yang menyakitkan. Sebab ketika Presiden bicara soal pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia, masyarakat justru melihat pertumbuhan alat berat di kawasan tambang. Saat Presiden menyebut indeks kebahagiaan tertinggi, rakyat sibuk mencari subsidi sembako. Dan ketika inflasi disebut terkendali, harga tiket kapal antar-pulau tetap menggigit.
Apa yang terjadi? Mungkin jawabannya bisa dilihat dari selembar uang: pecahan seribu rupiah. Ya, Bank Indonesia pernah mencetak uang bergambar Pulau Maitara dan Tidore, diambil dari sudut Pulau Ternate. Indah, artistik, dan nasionalistik. Tapi justru di situ letak sindirannya.
Uang seribu itu, seolah menjadi nyanyian lirih Bank Indonesia atas ketimpangan ekonomi negeri ini. Di satu sisi, Maluku Utara disebut-sebut sebagai lokomotif pertumbuhan. Tapi di sisi lain, provinsi ini hanya berkontribusi 0,53% terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Jauh lebih kecil dari porsi suara yel-yel di acara kampus.
Komentar