oleh

CAPRES INDONESIA PILIHAN CINA DAN AS

Pilpres Indonesia bukan hanya menjadi kegelisahan rakyat Indonesia, tapi juga dua kekuatan raksasa yang bersaing di Indo-Pasifik: Cina dan AS. Beda dengan Cina, AS berharap pilpres dilaksanakan tepat waktu dan menghasilkan presiden yang pro-perubahan. Sementara Cina berharap — kalaupun pilpres jadi dilaksanakan — adanya kelanjutan status quo.

Selama ini Cina sangat puas atas kebijakan pemerintahan Jokowi yang memanjakan Cina guna mengejar tawaran Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) Cina, program pembangunan infrastruktur global untuk menjamin kelanjutan pertumbuhan Cina menjadi negara super power.

Lihat, pemerintahan Jokowi memberi konsesi pada Cina dalam menggarap tambang nikel dan pembangunan infrastruktur yang banyak dikritik karena hanya menguntungkan Cina. Ekonom senior Faisal Basri mengatakan, Indonesia tak mendapat apa-apa dari konsesi itu.

Terkait proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang digarap Cina, Indonesia dipaksa berutang pada Cina hingga Rp 8 triliun untuk menambal kekurangan dana akibat membengkaknya nilai proyek.

Baca Juga  Conie Layak Dipidana?

Dan dalam menjalankan politik regional, Jakarta sejauh mungkin menghindari sikap kritis terhadap Beijing. Kendati Cina menindas secara keji komunitas Muslim etnis Uighur yang dikecam Komisi Tinggi HAM PBB — AS menyebutnya genosida — pemerintah kita menutup mata.

Sikap tidak kritis terhadap Cina juga terlihat ketika pada 12 Januari silam, Kemenlu RI merilis “Pandangan Asean atas Indo-Pasifik”. Menlu Retno LP Marsudi mengatakan, ini akan menjadi roh besar pelaksanaan prioritas kekektuaan Indonesia di Asean tahun 2023.

Bagaimanapun, beberapa pengamat menyoroti pernyataan menlu yang kurang menggali permasalahan dan tidak menyinggung secara langsung beberapa isu penting yang sangat berpengaruh di Indonesia dan Asia Tenggara.

Baca Juga  Ditinggal Jokowi, PIK 2 Dihajar Massa

Wakil Direktur CSIS Shafiah Muhibat, misalnya, menyayangkan ketiadaan isu Laut Cina Selatan (LCS), Korea Utara, Selat Taiwan, serta persaingan geopolitik AS-Cina. Sementara Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Pelita Harapan Aleksius Jemadu menyebut politik luar negeri 2023 akan tetap bersikap reaktif terhadap isu eksternal dan internal, serta cenderung pragmatis.

Ini memang menjadi ciri pemerintahan Jokowi. Isu LCS yang demikian penting tetapi tidak menjadi fokus Indonesia terlihat aneh dan kian menegaskan sensitivitas pemerintah terhadap Cina. Padahal, dalam menjalankan keketuaan Asean, Indonesia harus menjadikan LCS — titik didih persaingan AS-Cina dan keterlibatan empat negara Asean dalam klaim tumpang tindih mereka dengan Cina atas kawasan strategis itu — sebagai isu prioritas.

Cina mengklaim 90 persen LCS sebagai miliknya dan telah membangun pangkakan militer di Pulau Paracel dan Spratly yang juga diklaim Vietnam, Malaysia, Brunei, Filipina, plus Taiwan.

Baca Juga  Kejujuran Sang Presiden Ksatria

Tentu AS menyayangkan hal ini. LCS merupakan kawasan maritim strategis, tempat lalu-lalang kapal-kapal komersial internasional yang mengangkut komoditas senilai 5 triliun dollar AS setahun. Tak heran AS — juga mahkamah arbitrase internasional — menolak klaim Cina.

Sesungguhnya klaim Cina itu bertujuan memonopoli sumber energi yang kaya di kawasan itu, meneguhkan hegemoninya, memperbesar perbatasannya, dan membuat dunia bergantung pada belas kasihan Cina.

Isu Taiwan — yang hari ini menjadi episentrum pertikaian AS-Cina — mestinya juga dijadikan fokus. Taiwan tak bisa dipisahkan dari LCS. Bilamana keamanannya terganggu, Indonesia akan ikut memikul getahnya, karena Taiwan adalah salah satu mitra dagang dan investor penting Indonesia.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *