Soal kriminalisasi dan penangkapan 11 warga Halmahera Timur, Ketua Salawaku Institute M Said Marsaoly mengatakan, kebijakan pemerintah provinsi Maluku Utara yang dipandu Sherly Tjoanda justru menunjukkan bias keberpihakan.
Menurut Said, hal ini tercermin dalam rapat bersama pada April 2025 lalu di Kantor Gubernur Maluku Utara di Sofifi. Rapat tersebut dihadiri sejumlah pihak termasuk Wakil Gubernur Maluku Utara Sarbin Sehe, Kapolda Malut, Kapolres Haltim, Dandim Haltim, Bupati Haltim dan Direktur PT STS.
Di bawah wewenang gubernur perempuan pertama di Malut ini, Said menilai bahwa keputusan yang diambil sangat arogan dan mengorbankan keselamatan warga.
“Dalam rapat tertutup tersebut pemerintah Maluku Utara yang merupakan perpanjangan tangan negara berlagak seolah-olah hendak melindungi warga dan mengutamakan kepentingan warga. Namun, keputusan rapat menunjukkan sebaliknya,” kata dia.
Said menyebut setidaknya terdapat tujuh poin keputusan yang menunjukkan watak sebenarnya dari pemerintahan Sherly Tjoanda, yakni memperkuat kehadiran korporasi dan membiarkan kriminalisasi terhadap warga berlanjut.
Di sisi lain, JATAM melihat abainya pemerintah provinsi melindungi warga terdampak tambang di Maluku Utara penuh kejanggalan. Menurut Julfikar, hal itu tak lain karena Sherly juga merupakan pebisnis sektor tambang.
“Gubernur Maluku Utara ini semakin menampakan dirinya yang sebenarnya. Dia tidak hanya berperan sebagai centeng korporasi, tapi juga sebagai seorang pebisnis industri ekstraktif,” kata Julfikar.
Ambisi pemerintah menjaga ekonomi Malut tetap di angka dua digit tapi mengabaikan kerusakan alam, kata Julfikar, sejatinya menunjukkan watak asli dari para pengekstrak, “mereka senantiasa meraup keuntungan di atas kerusakan yang tiada pulih. Di saat yang sama, dengan culasnya mendegungkan atas dan demi kemajuan ekonomi yang tanpa henti digaungkan sebagai mantra dari sihir yang paling mujarab.”
Sebelumnya, JATAM mencatat jejak bisnis Sherly Tjoanda yang memiliki perusahaan pertambangan nikel bernama PT Wijaya Karya. Perusahaan ini berlokasi di Pulau Gebe, Halmahera Tengah. Pada 20 Mei 2025, perusahaan tersebut ditengarai menyerobot lahan warga.
“PT Wijaya Karya juga diduga telah mendapatkan perpanjangan waktu operasi penambangan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), tepat ketika Sherly telah menduduki kursi empuk sebagai Gubernur Maluku Utara,” katanya.
Sherly Tjoanda turut memiliki perusahaan pertambangan pasir besi dan mineral di Desa Wooi, Pulau Obi, Halmahera Selatan. Perusahaan bernama PT Bela Sarana Permai ini memiliki konsesi seluas 4.290 hektar yang menduduki wilayah Wooi. Celakanya, pendudukan konsesi mencakup seluruh pemukiman warga. Warga dengan keras menolak perusahaan dan mendesak untuk hengkang.
Kesimpulan
Kegagalan dalam program 100 hari kerja dipicu beberapa faktor.
Pertama dalam hal kerusakan sistematis, Sherly-Sarbin terutama Gubernur Sherly Tjoanda dinilai tak paham sistem pemerintahan.Dugaan ini menguat dari pengakuan Gubernur Sherly sendiri dihadapan Dirjen di Kemedagri.
Ke dua, Gubernur Sherly Tjoanda diduga kejar pengembalian modal yang habis digunakan dipilkada.Kebijakannya menggunakan hotel Bella miliknya diduga salah satu cara bagaimana dia mengembalikan modal yang terkuras digunakan di Pilkada.
Ke tiga, Soal mindset kepemimpinan sherly-Sarbi yang kapitalisme sentris yang lebih pro investasi.
Ke empat, faktor kepentingan bisnis Gubernur Sherly Tjoanda dinilai sebagai faktor penyebab mengapa Gubernur Sherly Tjoanda ogah dan pongah pada kepentingan rakyat dan lebih mendukung investasi yang berbanding lurus dengan tidak bertanggun jawab terhadap lingkungan dan kepentingan rakyat itu.
Aksi perusahan miliknya menebang tanaman pohon pala milik petani di Pulau Gebe adalah buktinya.
Bukti lain, Sherly Tjoanda turut memiliki perusahaan pertambangan pasir besi dan mineral di Desa Wooi, Pulau Obi, Halmahera Selatan. Perusahaan bernama PT Bela Sarana Permai ini memiliki konsesi seluas 4.290 hektar yang menduduki wilayah Wooi. Celakanya, pendudukan konsesi mencakup seluruh pemukiman warga. Warga dengan keras menolak perusahaan dan mendesak untuk hengkang.
”ya saya kira 4 faktor itu diduga menjadi pemicu gagalnya Sherly-Sarbin melakoni program 100 hari kerja”pungkas Muslim Arbi.
Endingnya, Jaringan Advokasi Tambang atau JATAM, Muslim Arbi, Direktur Gerakan Perubahan dan Iswan Sama, advokad dari Setara Law Office Bandung, Jawab Barat menuding Sherly-Sarbin gagal melindungi rakyat dari ancaman lingkungan yang buruk dan perlindungan hak-hak rakyat dari ancaman perusahan pertambangan.Padahal isyu ini dipandang penting, strategis dan substansial dalam rangka melindungi rakyat(***)
Komentar