oleh

Program 100 Hari Kerja Gubernur Sherly -Sarbin, Dari Kerusakan Sistem, Lingkungan dan Hak Rakyat

-HEADLINE-818 Dilihat

Program 100 hari kerja Sherly-Sarbin juga diwarnai oleh dugaan kebijakan yang sarat konflik kepentingan.Kebijakan Gubernur Sherly memusatkan sebagian besar kegiatan kantor dan kegiatan resmi Pemprov Malut di hotel Bella miliknya diduga sebagai bentuk kebijakan yang sarat konflik kepentingan.

”Jelas kebijakan yang sarat konflik kepentingan, Pemerintah dilarang mengeluarkan kebijakan yang sarat konflik kepentingan”tukas Muslim Arbi.

Kerusakan Lingkungan.

Selain kerusakan sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah, kerusakan lingkungan hidup dan pelanggaran hak rakyat juga mewarnai 100 hari kerja Sherly-Sarbin.

Nyaris dipenghujung program 100 hari kerja, Laporan terbaru hasil penelitian Nexus3 Foundation dan Universitas Tadulako dirilis pada Senin, 26 Mei 2025, menunjukkan bahwa warga setempat dan buruh telah terpapar dan terkontaminasi dengan dua logam berat yakni merkuri dan arsenik yang melebihi batas aman.

JATAM mengungkapkan bahwa Sejumlah kerusakan lingkungan seperti pencemaran sumber air di kawasan pertambangan, menyisakan luka bagi warga sekitar. “Alih-alih melindungi dan menjawab persoalan, pemerintahan Sherly Tjoanda justru bertindak sebaliknya,” ucap Julfikar dalam siaran tertulis.

Baca Juga  Desa Kawasi, Antara Desa Tua Resisten dan International Vilage

“Pencemaran Sungai Sangaji di Halmahera Timur, misalnya, yang berada tepat di permukiman warga. Kini dirintangi beberapa perusahaan pertambangan nikel, dua di antaranya adalah PT Weda Bay Nickel (WBN) dan PT Position. Akibat operasi pertambangan, bentang hutan berubah, termasuk lenyapnya bukit-bukit yang kokoh. Padahal, hutan dan bukit-bukit ini adalah wilayah penyangga kampung.”

Kepemimpinan Inkonsistensi.

Kasus kejahatan lingkungan dan kemanusiaan ini, mengingatkan kembali dengan pernyataan Sherly Tjoanda saat debat kedua yang berlangsung di Auditorium Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) pada Selasa 19 November 2024—dalam proses pencalonan Gubernur Maluku Utara,” lanjut Julfikar.

Dugaan kepemimpinan Sherly-Sarbin yang inkonsisten kemudian mengemuka saat ini.

Saat itu, Sherly berbicara soal pentingnya menjadikan pelestarian lingkungan sebagai prioritas dalam kepemimpinannya jika terpilih. Ia lalu menyoroti sejumlah kerusakan lingkungan yang terjadi di Teluk Weda, Halmahera Tengah dan Teluk Buli, Halmahera Timur sebagai akibat dari dampak aktivitas tambang nikel disertai pengelolaannya.

Baca Juga  Ponakan Hantam “KO” Tante di Pilkada Kabupaten Pulau Taliabu

Dengan mengatakan kalau ia tak hanya berbicara tetapi lebih daripada itu ia akan mengambil tindakan konkret dalam melakukan rehabilitasi lingkungan ketika menjabat sebagai Gubernur Maluku Utara, “kami tidak hanya berbicara, tetapi juga akan bertindak dengan langkah konkret untuk merehabilitasi lingkungan Maluku Utara.

Faktanya,kerusakan lingkungan justru mewarnai 100 hari kerja  Sherly-Sarbin tanpa aksi penyelamatan lingkungan yang nyata.

Pelanggaran Hak Rakyat.

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai pemerintahan Sherly Tjoanda dan Sarbin Sehemengabaikan keberpihakan terhadap kerusakan lingkungan akibat operasi pertambangan di Maluku Utara. Alih-alih melindungi warga terdampak, JATAM menyebut Sherly justru sibuk memoles citranya di media sosial.

“Kekuasaan Sherly Tjoanda pada 100 hari kerja ini dibarengi peristiwa pilu yang patut dibaca sebagai kejahatan negara dan korporasi terhadap warga yang berjuang mempertahankan sumber hidupnya yang hendak dihancurkan industri ekstraktif,” kata Julfikar Sangaji, Koordinator Simpul JATAM Maluku Utara kepada cermat, Sabtu, 31 Mei 2025.

Baca Juga  Tantang Ketua KPK Setyo Budiyanto, Reza : Panggil & Periksa Suryani Antarani Terkait Dugaan Korupsi Rp19,8 Miliar

Julfikar menyebut, salah satu peristiwa penting yang diabaikan pemerintah provinsi adalah tindakan kriminalisasi terhadap warga Maba Sangaji di Halmahera Timur yang mempertahankan hutan adatnya dari ekspansi tambang.

Ia bilang, operasi pertambangan di Maluku Utara turut menghancurkan wilayah tradisional warga sekitar. Namun, perlawanan atas kerusakan tersebut kerap diadang aparat keamanan hingga berujung pada tindakan kriminalisasi.

Julfikar juga menyinggung penangkapan terhadap 11 warga Maba Sangaji buntut aksi protes mereka terhadap perusahaan tambang. Usai ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Maluku Utara, kini mereka ditahan di Lapas Ternate.

Polisi bahkan melabelkan perjuangan rakyat atas hak mereka sebagai aksi dan tindakan premanisme,” ujarnya.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *