“Ngoni baku lae terserah,torang tarada urusan.Torang ini pe karja cuma mencari.Jang sampe torang pe karja ini taganggu.Torang juga bisa biking kaco”,[anda bisa berkelahi,kami tidak punya urusan itu.Kami hanya bekerja mengais rejeki,jangan sampai kerja kami terganggu.Kami juga bisa bikin kacau].
Kurang lebih,ini potongan tanggapan seorang sopir angkot di Tidore ketika seorang kawan,iseng menanyakan pendapatnya tentang kemungkinan sebuah konflik [perkelahian] di malam.itu,nanti menjurus ke level komunal kampung sebagai akibat lain dari pertandingan sepakbola di sebuah event di Tidore yang sementara berlangsung,yang di duga pasti mempengaruhi nominal pendapatannya karena variabel penonton khususnya yang datang dari luar Tidore.
Di sebuah WAG,ketika menanggapi hasil pertandingan dari event di atas,sering terbaca komentar-komentar lucu dari anggotanya yang berjumlah 300-an dan dari latar profesi gado-gado,berbagai kalangan.Saya hanya menyimak sambil senyum-senyum dan sesekali menimpali komentar yang kocak,beberapa hari lalu ketika ada beberapa kawan yang terlihat getol “membela” kampung asalnya yang masih berlaga hingga saat itu.
Sembari dengan maksud bercanda,saya menanggapi bahwa seseorang itu cenderung berkurang sentimen kampungnya [sebutan untuk menunjuk pada prilaku membela secara serampangan kampung asalnya tanpa melihat kadar benar-salah] jika dia telah lama berdomisili di luar kampung asalnya,apalagi di komunitas masyarakat yang lebih heterogen,terlebih di kota,misalnya.
Komentar