Tidak ada yang lebih hina daripada dianiaya orang tolol. Dalam kehinaan ini, aku membuka kembali lembar demi lembar perjalanan hidupku di bawah langit hitam dan badai yang menyapu dari utara.
Ternyata hidup tak selalu mudah. Sering tak terduga. Banyak yang telah berhasil aku capai. Tapi tak sedikit juga yang gagal. Semuanya aku terima dengan jiwa besar dan rasa syukur.
Aku pernah cukup lama menikmati puji-pujian, dihormati, dan hamparan rezeki yang melimpah, di saat banyak orang di kolong langit ini menanggung kehinaan dan terbuang.
Kini, di ujung senjakala hidupku, yang mungkin akan melumat habis seluruh prestasi dan harga diriku, harus aku hadapi dengan kepala tegak. Pada akhirnya, mungkin saja aku akan menemukan diri lebih hina dari pada raja yang jatuh dari singgasana.
Tak kusangka teman seperjuangan yang dulu bukan siapa-siapa, lalu kubantu dia mencapai posisi puncak negeri besar ini, sekarang berbalik menghantamku. Dengan cara yang kejam pula untuk alasan yang sulit dimengerti.
Mengapa aku tak bisa mengusung seorang muda yang cakap untuk menjadi calon pengganti temanku itu ketika mandatnya segera berakhir? Mengapa calon pemimpin yang kompeten, yang aku yakini dapat mengurai benang kusut negeri ini, harus disingkirkan dari cara-cara biadab? Aku kira Orba telah berakhir. Ternyata ia berinkarnasi mnjadi kingkong yang aku turut memeliharanya.
Aku kecewa pada temanku itu. Tapi lebih kecewa luga pada diriku sendiri. Mengapa orang seperti ini, yang gagal memakmurkan rakyat dan merusak negara, aku bantu sepenuh hati meskipun untuk itu aku menyengsarakan sebagian besar orang?
Aku menyesal. Tapi akan kuhadapi tragedi ini sekalipun sendirian. Aku terluka, tapi sisa martabatku pemberian Tuhan akan aku jaga hingga di ujung hayatku. Manusia hanya berharga kalau dia menghargai harga dirinya. Harta bisa lenyap, gengsi bisa hilang, tapi harga diri harus terus menyala untuk membuatku terlihat bermartabat sebagai manusia.
Setidaknya untuk diriku sendiri. Siapa tahu rakyat yang menghargai sikap yang kuambil sehingga menjadi satu-satunya legacy-ku untuk rakyat, bangsa, dan negara yang aku cintai ini.
Tak aku pungkiri karut-marut negeri saat ini tak bisa dilepaskan dari kepicikan, ambisi buruk, dan syahwat kekuasaan pemimpin yang dulu kudukung habis-habisan. Dan aku menikmati keuntungan materi dan nonmateri dari pemerintahannya.
Media-media yang kumiliki secara sengaja dan bersemangat menutupi semua kelemahan dan kesalahan yang dibuat temanku itu. Jelas aku berdosa. Mengapa bukan aku sendiri yang harus memikul akibatnya, melainkan menyeret juga rakyat kedalam kehidupan yang durjana ini?
Komentar