Patriotisme Demokrasi: Kecerdasan Elektoral Menjaga Keutuhan Bangsa
Dr. M Tauhid Soleman, M.Si
Era politik saat ini. dengan pelbagai macam problem yang terus berhembus di tengah-tengah ruang publik, sering menjadi catatan penting untuk kita sebagai manusia yang hidup pada ruang-ruang politik. Wacana domain politik sering terjadi sebagai upaya pemenuhan kebutuhan pembangunan. Dewasa ini, politik di Negara ini lagi mempersiapkan “gelanggang” untuk menjemput momentum elektoral/pemilu tahun 2024 mendatang.
Efek politik dalam skala Nasional, juga memberikan dampak bagi wacana politik lokal yang juga mengambil peran penting untuk menghadirkan mata rantai politik sebagai cerminan Negara Demokrasi. Akan tetapi, efek politik tidak selamanya menghadirkan artifisial demokrasi yang sesungguhnya, di dalamnya masih terdapat sebuah wacana-wacana yang menggugurkan keinginan Rakyat.
Suara Rakyat adalah manfestasi dari pembangunan Demokrasi yang ideal. Dalam konteks lain, seperti yang dikemukakan dalam kalimat latin yang sangat mendunia “Vox Populi, Vox Dei” Suara Rakyat ialah Suara Tuhan. Jika ditelaah lebih jauh, suara Rakyat menciptakan arah/tujuan dalam membangun bangsa. Tujuan yang dimaksud ialah kebaikan dalam merawat nilai-nilai kebangsaan. Seiring berjalannya waktu, nilai-nilai ini pun dimanfaatkan sebagai (front cover) yang di dalamnya masih menggunakan praktik dinasti, praktik politik identitas, serta praktik-praktik politik yang dapat merusak ekosistem demokrasi.
Kebahayaan praktik-praktik semacam ini dapat menghasilkan produk-politik yang tidak ideal. Penulis pun sadari, kata ideal meminimalisir dari sebuah anggapan yang belum mencapai kata sempurna. Setidaknya, kita harus sadari bahwa praktik-praktik semacam ini tidak akan memberikan efek pendewasaan politik yang lebih baik untuk Negara maupun Daerah kita.
*Semisal Efek Poltiik Dinasty*
Dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perppu Pilkada (lazim disebut UU Pilkada 2015) sempat mengatur larangan politik dinasti.
Pada Pasal 7 huruf r beserta penjelasannya memberikan penegasan bahwa calon kepala daerah tidak boleh ada konflik kepentingan dengan petahana.
Begitu sayangnya, ketentuan Pasal 7 huruf r tersebut dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan MK Nomor 33/PUU-XIII/2015 yang menguji UU Pilkada 2015 terhadap UUD RI Tahun 1945, menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
Sebab menurut R Muhammad Mihradi, 2019; dinilai melanggar hak konstitusional warganegara untuk memperoleh hak yang sama dalam hukum dan pemerintahan.
Muhammad Aqil Irham, dalam disertasi yang dibukukan berjudul Demokrasi Muka Dua: Membaca Ulang Pilkada di Indonesia (2016), dalam R Muhammad Mihradi, 2019; menemukan gejala, dinasti politik menjadi akar tumbuhnya praktik kolutif dan nepotisme. Hal ini berkelindan dengan praktik oligarkis kepartaian. Ini merupakan ironi dan paradoks demokrasi di tingkat daerah sebagai bentuk memperebutkan dan mempertahankan kursi kekuasaan, baik di legislatif maupun eksekutif.
Melanjutkan isi artikel yang bertajuk; Politik Dinasti seabgai Komorbid Demokrasi dari R Muhammad Mihradi,2019. Di Amerika Serikat, kita mengenal dinasti John F Kennedy dan dinasti George W Bush. Begitu pula di negara-negara demokratis Asia seperti India, ada dinasti politik Gandhi. Di Filipina, ada dinasti Aquino. Memang dalam perspektif politik, dinasti politik mengandung pro-kontra. Bagi yang pro, politik dinasti bukan gejala mengkhawatirkan. Sebab, pengalaman kasus India, dinasti politik terus berjalan namun demokrasinya tetap stabil dan bermutu.
Namun bagi yang kontra, politik dinasti tidak bisa disederhanakan seperti itu. Jika berbagai kebijakan petahana dipenuhi diskresi pada kerabat yang menutup akses sumber daya di luar jaringan kerabat, politik dinasti membahayakan demokrasi yang memuja fairness dalam kompetisi.
Apalagi jika politik dinasti berujung korupsi. Praktis tidak ada toleransi.
Efek-efek semacam ini bisa dinilai dari kedua arah yang berbeda, akan tetapi sistem politik yang jujur dan adil harus menjadi pondasi yang kuat untuk menegakkan nilai-nilai positif dalam berdemokrasi.
*Patriotisme memperkuat nilai demokrasi*
Jiwa patriot sebagai bentuk kembalinya pemikiran kita tentang satu pertanyaan penting: “apa tujuan kita untuk bernegara?”. Jiwa patriot menggambarkan jiwa kepahlawanan, jiwa pemberani, atau jiwa yang benar-benar memahami kondisi yang dimana terdapat pengorbanan keringat dan darah yang telah tertumpah demi keutuhan bangsa ini.
“Jika jiwa patriotisme sebagai lokomotif untuk mengembalikan prior knowlidge/pengetahuan awal kita tentang Negara, maka seharusnya demokrasi menjadi rel-nya untuk menuju pada keadilan politik”.
Makna patriotisme harus benar-benar tertanam dalam setiap benak anak bangsa, demi menjaga keutuhan sistem demokrasi yang ideal, untuk menuju pada pemilu 2024 mendatang. Dalam hemat penulis, kesadaran kecerdasan kita harus dijaga dari praktik-praktik politik yang merugikan bangsa.
Rakyat memiliki hak mendapatkan apapun termasuk keadilan dalam politik, siapapun dirinya, dari mana dia datang, dan apapun latar belakangnya, dia punya hak untuk bisa memilih maupun dipilih, termasuk dalam mengikuti percaturan kontestasi politik. Jangan sampai rakyat hanya menjadi martir dari dampak politik. Kecerdasan rakyat harus terus diaktifkan dengan cara penguatan jiwa patriot; bahwa semua rakyat adalah pahlawan, untuk menjaga keutuhan bangsa demi kesejahteraan dan pembangunan yang merata.
Sebagai politisi, penulis pun menyadari bahwa setiap langkah baik pasti ada tantangan dan keterhambatan, masih jauh dari kata ideal apalagi sempurna, karena kepemimpinan yang sempurna di dunia ini hanyalah milik Rasulullah Muhammad SAW. Akan tetapi, sebagai anak bangsa yang lahir dari rahim ibu pertiwi, selayaknya menyadarkan diri secara pribadi dan kita semua, bahwa jika jiwa patriotisme diperkuat, InsyAllah kita dapat menjaga Bangsa ini dari ketidak adilan atas praktik politik yang menyesatkan, mari ciptakan politik sehat. Semoga Allah SWT, Tuhan YME melimpahkan rahmat dan hidayahnya bagi bangsa dan daerah kita, untuk menjadi Bangsa yang kuat serta menunjunjung tinggi demokrasi yang beradab.[]