Koalisi besar, itulah gagasan reaktif setelah Koalisi Perubahan dan Persatuan (KPP) mengusung Anies Baswedan. Istana menjadi kolaboratur untuk membentuk koalisi yang terdiri dari Golkar, PAN, PPP, Gerindra dan PKB. PKB nampaknya keberatan. Dianggap melawan, maka seketika, kasus Kardus Duren muncul kembali. MAKI (Masyarakat Anti Korupsi Indonesia) dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) adalah dua aktor yang memunculkan kembali kasus durian. Publik membaca ini sebagai pressure atau tekanan kepada ketum PKB, Muhaimin Iskandar (Cak Imin). Di sini, kesan adanya kawin paksa terasa sekali. Mirip awal kelahiran Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), di mata publik itu juga kawin paksa.
Gagasan koalisi besar ingin menyatukan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dan Koalisi Indonesia Raya (KIR). Jika koalisi ini terbentuk, maka harapan Cak Imin untuk menjadi cawapres Prabowo pupus. PKB tidak punya kekuatan lagi untuk menekan Prabowo berpasangan dengan Cak Imin.
Kemungkinan koalisi besar akan terbentuk, kata Zulkifli Hasan, ketum PAN. Pengatur orkestranya adalah Jokowi, lanjutnya. Terbentuknya koalisi besar lebih disebabkan oleh loyalitas, tepatnya ketakutan mereka terhadap istana. Sebagaimana juga KIB. Satu soal serius yang akan mereka hadapi adalah siapa capres-cawapres yang akan diusung oleh koalisi besar ini?
Akankah koalisi besar ini mengusung Prabowo Subianto? Tidak menutup kemungkinan ini terjadi. Tapi, ini tidak mudah. Sabab, kans Prabowo untuk menang di pilpres 2024 dianggap relatif kecil. Elektabilitas Prabowo sudah jauh menurun. Sementara, sulit mencari pemantik yang bisa mendorong naiknya elektabilitas Prabowo.
Komentar