oleh

BERAKHIRNYA GENOSIDA DAN PERDAMAIAN KOMPREHENSIF TIMTENG

-OPINI-210 Dilihat

Smith Alhadar : Penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)


Presiden AS Donald Trump tidak menyembunyikan kegembiraannya yang meluap ketika, pada 9 Oktober pagi WIB,  mengumumkan tercapainya kesepakatan fase pertama
dari 20 point proposalnya. Trump juga menyatakan ini awal dari ikhtiar menciptakan perdamaian komprehensif Timur Tengah yang mengikutsertakan Iran. Warga Palestina di Gaza, yang menghadapi genosida selama dua tahun terakhir, dan publik Israel, serta komunitas global menyambut antusias peristiwa bersejarah ini. Genosida di Gaza merupakan peristiwa mengerikan yang tak ada presedennya pasca Perang Dunia II.

Tercapainya gencatan senjata Hamas-Israel tak akan terwujud tanpa kontribusi negara-negara Barat yang secara tradisionil merupakan sekutu Israel. Mereka, di antaranya, Inggris, Perancis, Spanyol, Belgia, Norwegia, Kanada, dan Australia, telah mengakui negara Palestina sehingga Israel kian terisolasi. Juga tekanan kubu Arab-Islam – terdiri dari Mesir, Arab Saudi, UEA, Qatar, Yordania, Indonesian, Turki, dan Pakistan – terhadap AS dalam pertemuan mereka dengan Trump di sela Sidang Umum PBB. Lebih dari itu, tanpa kesungguhan Trump menekan Netanyahu genosida masih akan terjadi.

Dalam perundingan di kota Sharm el-Sheikh, Mesir, Trump mengutus utusan khususnya untuk Timteng Steve Witkoff dan menantunya, Jared Kushner, yang dekat dengan negara-negara Arab Teluk, sebagai mediator perundingan bersama  Qatar, Mesir, dan Turki. PM Qatar Sheikh Mohammad bin Abdulrahman bin Jasim al-Thani bahkan ikut bergabung dalam tim negosiator. Fenomena ini menunjukkan ekspektasi tinggi atas keberhasilan perundingan. Memang daya dukung politik regional dan internasional terhadap genosida Israel yang diakui PBB dan badan-badan HAM dunia telah mencapai puncak, dan merusak kredibilitas AS.

Masih Rentan

Kendati kesepakatan itu melegakan dunia, implementasinya tidak mudah. Kesepakatan fase pertama mengharuskan militer Israel, Tzahal, mundurke garis kuning di Gaza di mana Israel masih menguasai 60 persen enklave itu, termasuk gerabng Rafah yang berbatasan dengan Sinai, Mesir. Lalu, diikuti pembebasan 48 sandera Yahudi, baik yang tinggal jenazah maupun yang masih hidup. Di pihak lain, Israel akan membebaskan 2.000-an tahanan Palestina dari penjara. Bantuan kemanusiaan dalam jumlah memadai akan masuk ke Gaza. Tetapi belum jelas timing dan skala penarikan Tzahal dari Gaza.

Baca Juga  SEJENAK HENING : SEBUAH CATATAN PENGANTAR.

Yang juga menjadi masalah adalah penghapusan nama Marwan Barghouti dari daftar tahanan Palestina yang akan  dibebaskan. Barghouti sangat populer di kalangan semua faksi Palestina. Ia ditahan sejak 2004 karena terlibat dalam Intifada II, 2004-2005,menyusulnya gagalnya perundingan perdamaian Israel-Palestina berbasis Kesepakatan Oslo di Camp David, AS, tahun 2000. Anggap saja fase pertama berjalan tanpa hambatan berarti. Aapalgi, menurut Hamas, Trump dan dunia internasional menjamin gencatan senjata akan bersifat permanen. Lawatan Trump ke Israel dan kemudian Mesir merupakan keseriusannya memastikan proposalnya dilaksanakan kedua belah pihak secara bertanggung jawab.

Fase kedua merupakan ujian berat bagi kedua pihak. Hamas dan Jihad Islam menuntut Tzahal ditarik sepenuhnya dari Gaza, hal yang ditolak Israel. Netanyahu menghendaki Tzahal masih bertahan di sebagian kecil dan perimeter Gaza. Sementara Hamas menolak demiliterisasi dan menyerahkan peta terowongan di Gaza yang ditetapkannya sebagai garis merah. Hukum humaniter internasional memberi hak kepada kelompok bersenjata menghadapi kekuatan pendudukan untuk melindungi warga sipil. Tapi posisi Hamas ini sulit diterima Netanyahu karena klaimnya bahwa Israel telah mencapai tujuan perangnya, yaitu menghancurkan kekuatan politik dan militer Hamas, dipertanyakan mitra koalisinya.

Bisa jadi Hamas dan Jihad Islam akan memberi konsesi berupa penyerahan senjata berat, tapi tidak untuk small arms. Pernyataan Trump bahwa detail kesepakatan masih perlu waktu untuk dirundingkan menunjukkan ia menyadari the evil is in the details.Dus, meskipun kecil kemungkinannya, kita tak dapat mengabaikan kemungkinan perang pecah kembali bila Hamas dan mitranya menolak dilucuti. Trump sendiri sejak awal lebih menekankan pembebasan sandera Yahudi. Demikian juga PM Israel Benjamin Netanyahu. Setelah para sandera dibebaskan, Netanyahu tak punya beban lagi untuk melanjutkan perang sampai Hamas dan mitranya benar-benar dilumatkan. Toh, sebelumnya, Netanyahu berkali-kali melanggar kesepakatan baik dengan Hamas, Hizbullah di Lebanon, dan Suriah.

Baca Juga  Prabowo Di Tengah Badai Ancaman

Fase ketiga, Gaza akan diambil alih Board of Peace yang dipimpin Trump dan mantan PM Inggris Tony Blair. Mereka akan mengawasi rekonstruksi Gaza yang akan dilakukan entitas teknokrat Palestina yang tidak berafiliasi dengan faksi politik Palestina manapun. Rekonstruksi diperkirakan akan memakan waktu 15 tahun. Keamanan Gaza akan ditopang pasukan internasional stabilisasi Gaza. Setelah itu, Otoritas Palestina (OP) akan mengambil alih yang akan menyatukan Gaza dan Tepi Barat. Setelah itu, terbuka kemungkinan membicarakan two-state solution. Hamas menentang Board of Peace. Sebagai gantinya, pemerintahan Gaza dipimpin oleh wakil dari seluruh faksi Palestina hasil konsensus nasional.

Israel menolak OP yang memiliki legitimasi regional dan internasional kecuali ia mencabut laporannya kepada Mahkamah Internasional (ICJ) dan Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Tahun lalu, ICJ menyatakan Israel melakukan genosida di Gaza dan mendesak Israel membongkar pemukiman ilegal Yahudi di Yerusalem Timur, Tepi Barat, dan mundur dari Gaza paling lambat 18 September 2025. Sementara ICC mengeluarkan arrest warrants terhadap Netanyahu dan Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant yang dituduh melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Tuduhan ICJ dan ICC konsisten dengan kesimpulan Badan Penyelidik PBB bahwa Israel telah melakukan genosida di Gaza.

Perdamaian Komprehensif

Harapan Trump, implementasi perdamaian 20 point berlanjut pada perdamaian komprehensif Timteng. Namun, harapan ini terlalu jauh tanpa menyentuh akar permasalahan di kawasan vital itu, yaitu berdirinya negara Palestina. Ketika ditanya wartawan setelah mengumumkan tercapainya kesepakatan fase pertama Hamas-Israel tentang penentuan nasib sendiri dan negara Palestina, Trump menyatakan ia tidak memikirkannya. Isu itu diserahkan kepada pihak terkait. Tentu yang dimaksud adalah Israel. Sementara posisi Netanyahu tentang hal ini sudah jelas: menolak two-state solution. Hal itu bahkan diucapkannya dalam konferensi pers di Gedung Putih bersama Trump saat mengumumkan proposal 20 point,29 September.

Baca Juga  Rivalitas Jokowi vs Prabowo Semakin Nyata

Perdamaian komprehensif yang dimaksud Trump adalah normalisasi hubungan Israel dengan bangsa-bangsa Muslim di Timteng sebagai konsesi Trump menolak aneksasi Israel atas Tepi Barat dan tidak mengusir warga Palestina dari Gaza untuk dijadikan Riviera of the Middle East. Tapi konsesi ini tidak cukup. Two-state solution satu-satunya jalan yang masuk akal untuk memungkinkan terjadinya stabilisasi dan kerukunan negara-negara di kawasan melalui integrasi Israel ke dalam Timteng. Palestina telah membayar sangat mahal sepanjang 77 tahun terakhir yaitu, didehumanisasi, ditindas, diusir, dibunuh, dan dihancurkan peradabannya – demi hak-hak fundamentalnya.

Untuk menjadi peace maker, Trump harus memiliki visi Timteng jangka panjang. Zionisme berbasis biblikal yang mengklaim seluruh tanah historis Palestina sebagai pemberian Tuhan untuk bangsa terpilih Israel adalah proyek tidak masuk akal. Israel harus belajar dari sejarahnya sendiri bahwa eksklusifisme rasis berujung pada penaklukkan bangsa Babilonia, Assiriya, dan Romawi atas bangsa Yahudi. Ke depan, sejarah itu akan berulang karena Palestina tidak dapat dilenyapkan dan AS tidak selamanya dapat menjadi pelindung Israel. Israel harus kembali ke akartimteng-nya untuk membangun masa depan bersama dengan bangsa Arab, bukan sebagai kekuatan kolonial yang hendak menjadi kekuatan hegemon di kawasan.  

Tangsel, 10 Oktober 2025.

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *