“Rp1 triliun ini adalah harga untuk mengembalikan Pulau Gebe seperti sedia kala. Kami minta BPK melakukan audit menyeluruh terhadap aspek keuangan dan kepatuhan hukum PT Karya Wijaya,” tegas Mudasir.
Dia menjelaskan, perhitungan ganti rugi itu meliputi biaya revegetasi, rehabilitasi daerah aliran sungai, kerusakan terumbu karang, kerugian sosial ekonomi, hingga dampak kesehatan masyarakat.
Para kritikus menandaskan bahwa sorotan terhadap PT Karya Wijaya sekaligus menegaskan pentingnya pengawasan ketat atas tambang di Maluku Utara serta urgensi penegakan hukum untuk menjaga keberlanjutan masyarakat setempat.
Sejauh ini belum satupun lembaga penegak hukum yang bertindak mengusut dugaan pelanggaran undang-undang dan dugaan kejahatan perusakan lingkungan yang melibatkan perusahan milik orang nomor 1 malut itu.
Dibalik itu, Sherly Tjoanda sendiri dinilai hanya menebar komitmen palsu dibalik komitmen perlindungan lingkungan hidup dibalik operasional pertambangan di Maluku Utara.Bahkan berbagai isu kerusakan lingkungan yang diduga melibatkan perusahan-perusahan tambang seolah berlalu begitu saja dihadapan wajah Sherly Tjoanda.
Lihat pula statemen Sherly Tjoanda kala hadir di forum internasional Indonesia Critical Minerals Conference di Jakarta.Diforum bergengsi dan kredibel itu, Sherly memaparkan strategi keberlanjutan pasca nikel. Namun, klaim tersebut justru mendapat kritik keras dari aktivis lingkungan.Bak ironi, PT.Wijaya Karya, perusahan miliknya dipersoalkan ilegal karena ditemukan belum memiliki ijin keberlanjutan pasca tambang, sebuah syarat untuk penyelamatan lingkungan.
“Gubernur Sherly nampaknya tersandera dengan kepentingan bisnisnya sehingga terkesan lemah dalam penegakan perlindungan lingkungan hidup”tuding Said Alkatiri, Gubernur LIRA Malut.
”Jika seperti ini kondisinya, apa yang rakyat Maluku utara harapkan dari komitmen Gubernur menjamin lingkungan hidup Maluku utara”tukas Muslim Arbi, Ketua TPUA.
Komentar