oleh

MUNGKINKAH PALESTINA MEMILIKI NEGARA BERDAULAT

-OPINI-265 Dilihat

Smith Alhadar : Penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)

Belakangan ini simpati pada Palestina meluas. Demonstrasi pro-Palestina dari berbagai kalangan dan profesi merembet hingga ke negara-negara Barat yang secara tradisional dikenal sebagai sekutu Israel. Genosida dan ethnic cleansing yang dilakukan Israel selama dua tahun terakhir tak bisa lagi ditoleransi komunitas global. Tak kurang dari 65 ribu warga Gaza terbunuh, mayoritas anak-anak dan perempuan. Sekitar 165 ribu lainnya cedera. Dan nyaris seluruh rumah dan infrastruktur vital di Gaza rata dengan tanah.

Kenyataan ini mendorong negara-negara Barat sekutu Israel berbalik arah. Perancis, Inggris, Belgia, Norwegia, Spanyol, Irlandia, Kanada, dan Australia mengakui negara Palestina sebagai satu-satunya jalan menuju two-state solution atau berdirinya negara Palestina yang hidup berdampingan dengan Israel secara damai, adil, dan bermartabat. Kini saudah 157 dari 193 negara yang mendukung two-state solution. Kendati demikian, dalam pidatonya di Majelis Umum PBB, 27 September, PM Israel Benjamin Netanyahu menolak two-state solution.

Proposal Trump

Imbas dari tuntutan komunitas internasioal agar Israel menghentikan genosida di Gaza dan ethnic cleansing di Tepi Barat, pemerintahan AS di bawah Presiden Donald Trump melunak. Ia tidak lagi mendukung ethnic cleansing di Gaza untuk dijadikan Riviera of Middle East. Trump juga menentang rencana aneksasi Israel atas Tepi Barat. Hal ini dilakukan setelah pertemuan dengan negara-negara Arab dan Islam di sela sidang MU PBB. Dalam pertemuan itu, Trump mengajukan proposal terdiri dari 21 butir yang belum diungkap ke publik.

Tetapi beberapa butir yang sudah dibocorkan ke publik adalah, pertama, 40-an warga Israel yang disekap di Gaza harus dibebaskan; Kedua, Hamas  dilucuti dan tak boleh berperan pasca perang; Ketiga,tentara Israel ditarik dari seluruh Gaza; Keempat, akses seluasnya bagi masuknya bantuan kemanasiaan; Kelima, negara-negara Arab dan Islam mengirim pasukan ke Gaza untuk menyokong pemerintahan di sana; Keenam, biaya rekonstruksi Gaza akan ditanggung negara-negara Arab; Ketujuh, Otoritas Palestina pimpinan Presiden Mahmoud Abbas yang berbasis di Ramallah, Tepi Barat, akan mengambil alih Gaza. Abbas, pemimpin faksi Fatah, faksi terbesar dalam Organisasi Pembebasan Palestina (PLO),memiliki legitimasi internasional dan legitimasi Kesepakatan Oslo 1993. Otoritas Palestina dilahirkan oleh Kesepakatan Oslo antara PLO dan Israel

Baca Juga  EYANG MERRY HOEGENG

Tapi sejak 2014, kesepakatan itu dihentikan Netanyahu karena kesepakatan berbasis pertukaran tanah dengan perdamaian akan berujung pada berdirinya negara Palestina yang berdaulat dan independen. Sementara itu, Israel terus membangun pemukiman ilegal Yahudi di Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, sesuai dengan cita-cita Zionisme membangun “Israel Raya” berdasarkan klaim biblikal bahwa seluruh tanah Palestina merupakan pemberian Tuhan kepada bangsa terpilih Israel. Netanyahu bahkan menyatakan wilayah “Israel Raya” mencakup juga sebagian teritori Sinai (Mesir), Yordania, Suriah, dan Lebanon.

Dalam rangka membangun “Israel Raya” dengan menghilangkan teritori Palestina yang didukung parlemen Israel (Knesset) itulah yang mempercepatethnic cleansing di Gaza dan Tepi Barat melalui genosida dan pengusiran warga sehingga mengubah realitas di lapangan yang membuat pendirian negara Palestina berdasarkan resolusi DK PBB 242  tidak relevan. Untuk itu, beberapa negara Barat telah menjatuhkan sanksi terhadap individu dan entitas Yahudi yang mengintimidasi, membunuh, merampok tanah, dan mengusir warga Palestina di Tepi Barat.

Dalam pidato di Majelis Umum PBB tersebut, Netanyahu mengatakan, penolakan atas berdirinya negara Palestina bukan kemauan pribadinya, tapi 90 persen warga Israel. Memang dalam voting di Knesset tahun lalu, mayoritas anggota menolak two-state solution. Tapi derasnya arus balik negara-negara Barat sekutu Israel yang mendesak didirikan negara Palestina yang berdaulat membuat AS dan Israel kian terisolasi. Di AS sendiri, dukungan rakyat bagi pembebasan Palestina dari penjajahan terus bertambah, termasuk dari konstituen Partai Republik. Kalau Trump mengabaikan konsensus internasional dan desakan publik AS, maka dipastikan Partai Republik akan kalah dalam pemilu sela pada Oktober.

Kepada negara-negara Arab dan Islam Trump menyatakan akan ada terobosan dalam beberapa hari ke depan. Pada Senin, 29 September, Trump akan bertemu Netanyahu di Gedung Putih untuk membahas 21 butir proposalnya. Apakah Netanyahu akan menyetujuinya yang berpotensi melahirkan negara Palestina? Mungkin tidak. Alasannya, pemerintahan Netanyahu akan runtuh. Dua partai koalisi pimpinan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich dan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir mengancam akan mundur dari koalisi bila Israel tidak menduduki Gaza secara permanen dan menganeksasi Tepi Barat.

Negara Palestina

Baca Juga  Apakah Gibran berada di balik Demo Ricuh DPR 25 Agustus?

Tidak ada definisi tunggal tentang negara, tapi hukum internasional secara luas menyebut Konvensi Montevideo 1933. Sebelumnya PBB merujuk Konvensi Montevideo ketika membahas status negara Palestina. Konvensi itu tidak membutuhkan pengakuan suatu negara oleh negara lain. Tapi ia menentukan bahwa suatu teritori harus memiliki perbatasan yang jelas, pemerintahan, kapasitas untuk mengadakan hubungan dengan negara lain dan populasi permanen. Sementara banyak negara yang mengakui negara Palestina tak tahu pasti mengenai perbatasan-perbatasannya, kebanyakan membayangkan garis-garis sebelum perang 1967, termasuk Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur (Aljazeera, 26/9).

Berbasis pada Konvensi Montevideo, Palestina memiliki semua syarat untuk menjadi negara berdaulat dan independen. Wilayah Palestina memiliki perbatasan pra-perang 1967 yang disebut “garis hijau” (blue line) sesuai resolusi DK PBB 242, memiliki pemerintahan yang dilahirkan Kesepakatan Oslo, kapasitas untuk berhubungan dengan negara lain. Sejak 1988, negara Palestina telah diakui puluhan negara dan terus bertambah hingga 157 negara pada September ini. Dan memiliki populasi permanen. Sebentar lagi, Palestina akan membuka keduataan besarnya di London, Paris, Madrid, Brussels, Canberra, dan Otawa.

Mungkin saja proposal Trump tidak membicarakan negara Palestina. Tapi kalau tujuh butir dalam proposal itu diwujudkan, maka potensi Palestina memiliki negara terbuka lebar. Di luar itu, posisi Palestina menguat di panggung global. Dengan semakin banyak negara yang mengakui negara Palestina, maka dukungan politik dan ekonomi terhadap Palestina semakin luas. Sebaliknya, posisi Israel di arena global melemah. Sanksi ekonomi dan embargo senjata atas Israel mulai diterapkan negara-negara Barat yang tak terbayangkan sebelum 7 Oktober 2023.

Kendati dukungan Kongres, komunitas Evangelis, Lobi Yahudi (AIPAC), dan media AS masih kuat mendukung Israel, kepentingan nasional AS jadi taruhan bila aspirasi dunia, khususnya negara-negara Arab sekutu AS, tentang keniscayaan berdirinya negara Palestina tidak dapat diabaikan begitu saja. Dukungan mutlak AS terhadap Israel atas genosida di Gaza,serangan Israel-AS terhadap Iran, serangan Israel terhadap Suriah, tidak patuhnya Israel terhadap gencatan senjata Hizbullah-Israel yang dimediasi AS, dan serangan Israel ke Doha, Qatar, untuk membunuh para pemimpin Hamas yang sedang membahas proposal gencatan senjata AS menyebabkan kredibilitas dan reputasi AS di kawasan itu jatuh ke titik nadir.

Dalam konteks ini, mungkinkah Trump masih akan terbujuk Netanyahu  untuk terus membombardir Gaza, mengusir warganya, mengejar Hamas hingga melumatkannya sebagai tujuan perang, menduduki Gaza secara permanen, dan menganeksasi Tepi Barat?Kalau demikian, negara-negara Arab dan Islam tak punya pilihan lain kecuali menjauhi dan menekan AS – syukur-syukur kalau mereka tak mengembargo minyak ketika pecah perang Arab-Israel pada 1973. Arab Saudi telah mengambil langkah itu dengan membangun pakta militer dengan Pakistan, satu-satunya negara Muslim yang memiliki senjata nuklir. Yang lain mungkin akan semakin dekat dengan Iran dan merangkul Tiongkok untuk mengimbangi AS.

Baca Juga  80 Tahun Merdeka “Indeks Kemerdekaan Pulau”

Dalam perang singkat India-Pakistan pada Mei silam, pesawat-pesawat tempur Tiongkok yang digunakan Pakistan bisa merontokkan dengan mudah jet-jet tempur India. Dengan hilangnya AS sebagai pengaman Timur Tengah, pilihan Arab untuk merangkul Tiongkok menjadi masuk akal. Iran sendiri makin memperkuat kerja sama strategis komprehensif dengan Rusia dan Tiongkok dalam mengantisipasi kemungkinan AS dan Israel kembali menyerangnyasetelah Inggris, Perancis, dan Jerman (E3) menginisiasi pemberlakuan kembali semua sanksi PBB atas Iran karena memperkaya uranium hingga 60 persen.

Padahal kesepakatan nuklir Iran dengan lima kuasa dunia plus Jerman hanya membolehkan Iran memperkaya uranium pada tingkat 3,67 persen. Hal ini dilakukan Iran karena AS mundur secara sepihak dari kesepakatan itu yang diikuti sanksi keras yang mencekik ekonominya. Iran tetap bertahan dengan kesepakatan itu karena E3 menjanjikan akan terus menjaga kerja sama ekonomi dengan Iran. Namun, janji itu tak dipenuhi karena menghadapi tekanan AS.

Dalam konteks pertaruhan kepentingan AS di kawasan panas itu, tidak masuk akal bila Trump tak berdaya menghadapi penolakan Netanayhu atas proposalnya itu. Bahkan, tidak masuk akal juga Israel menolak two-state solution. Dunia telah berubah. AS bukan lagi negara adidaya tunggal yang bisa mendikte negara manapun untuk tunduk pada kemauannya. Telah muncul kerja sama multilateral, seperti BRICS dan Organisasi Kerja Sama Shanghai, yang berniat menantang hegemoni Barat pimpinan AS. Mewujudkan negara Palestina bukan opsi, melainkan political necessity untuk menjaga kepentingan AS dan mengintegrasikan Israel kedalam Timur Tengah yang sudah lama diimpikan Israel.

Tangsel, 28 September 2025

Catatan : (Artikel ini sebelumnya telah terbit di koran harian terkemuka nasional Media Indonesia)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *