Sofifi bukan hanya simbol administratif, tetapi juga representasi martabat masyarakat Maluku Utara.
Tentu, aspirasi DOB Sofifi tidak harus dimaknai sebagai upaya mengecilkan peran kota lain di sekitarnya apalagi Tidore. Sejarah mencatat bagaimana Tidore, bersama Ternate, memberikan kontribusi monumental dalam sejarah kemerdekaan dan integrasi nasional, khususnya dalam pembebasan Irian Barat. Namun, justru karena jasa dan nilai sejarah itulah, sudah semestinya kebijakan pusat bersikap adil: memajukan Tidore tanpa menghambat Sofifi.
Pemekaran Sofifi dan penguatan Tidore bukan dua kutub yang saling meniadakan. Sebaliknya, keduanya adalah poros penting untuk menjadikan Maluku Utara sebagai provinsi yang berdaulat secara administratif, kuat secara kultural, dan maju secara ekonomi.
Sikap Sultan Tidore, Husain Alting Sjah, yang memilih menahan diri dalam tensi aspirasi masyarakat adalah teladan kepemimpinan kultural yang menyejukkan. Namun, pesan moral di balik semua ini adalah: pemerintah pusat tidak boleh terus-terusan menggunakan alasan “anggaran sebagai tameng penundaan keadilan pembangunan di daerah.
Kalau sumber daya alam Maluku Utara begitu besar dikuras untuk negara, kenapa satu kota kecil bernama Sofifi saja tidak bisa dimekarkan?
Klau berbicara soal infrastruktur,,,Dimana pemerintahan propinsi dngan iklas untuk beraktifitas 100 persen di Sofifi,,,,dri priode taib – almarhum Gani kasuba,,,apakh pusat pemerintahan berjalan spenuhnya di Sofifi kan tidak,,,bahkan gubernur skrng Mash ada kegiatan² pemerintah masih sering di kota Ternate,,,untuk mnghrpkn Pemkot Tidore untuk memngun Sofifi spenuhnya maka alangkah baiknya,,,ibu kota provinsi di pindhkn,,,,,,,jikalau smua pusat pemerintahan bjln dngan baik di Sofifi maka di barengi dngan pertumbuhan ekonomi kemajuan,,,,,dlm hal2 lainya,,,,,mungkin itu pendapat sy sbgai orng awam,,,,