Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-80 pada 17 Agustus 2025, pernyataan Kepala BPK Perwakilan Maluku Utara, Marius Sirumapea, menjadi jarum jam yang memaksa kita berhenti sejenak. Dalam nada yang lugas dan, bagi sebagian, mengejutkan, Marius mengungkapkan sebuah kenyataan sederhana namun memilukan: banyak pemerintah daerah sendiri tidak tahu berapa besar penerimaan yang mereka peroleh dari sumber daya alam (SDA) di wilayahnya.
Pernyataan ini bukan sekadar catatan teknis audit; ia adalah tamparan moral terhadap janji republik yang terkandung dalam Sila Kelima Pancasila yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.Ironisnya, Maluku Utara yang kaya potensi tambang, termasuk di Taliabu, tetap menyimpan wajah kemiskinan lokal yang berat. Fenomena ini bukan baru, pengalaman “resource curse” kekayaan alam yang tak terkelola sehingga tidak berdampak pada kesejahteraan berulang di berbagai penjuru negeri. Namun, ketika bukan hanya aktivis dan akademisi yang berteriak, melainkan auditor negara sendiri, maka kegagalan tata kelola menjadi sulit dibantah.
Masalah utama yang dikemukakan Marius adalah dua hal yang saling memperkuat yakni kurangnya transparansi aliran pendapatan dan lemahnya pengawasan terhadap dampak lingkungan. Jika pemerintah daerah tidak mampu menyatakan berapa bagi hasil yang mereka terima, maka ruang publik untuk mengawasi, mengkritik, dan menuntut akuntabilitas tertutup rapat. Tanpa data yang jelas, sengketa, kecurangan, dan kebijakan yang tidak berpihak rakyat bisa berlangsung tanpa kendali.
Di sisi lain, pengabaian aspek lingkungan yakni AMDAL yang lemah atau tidak terevaluasi secara berkelanjutan semakin menambah daftar panjang kerugian jangka panjang. Biaya ekologi yang muncul akibat tambang yang tidak direklamasi atau wilayah yang tercemar akhirnya ditanggung masyarakat setempat, bukan perusahaan atau pemangku kebijakan yang lalai. Ini bukan hanya soal angka di laporan keuangan; ini soal hak hidup layak dan masa depan generasi berikutnya.
BPK sebagai lembaga pengawas telah melakukan tugasnya dengan mengungkap masalah. Namun peran audit hanya permulaan. Perbaikan substantif menuntut tindakan kolektif yakni eksekutif yang berani mereformasi mekanisme bagi hasil, legislatif yang mengawasi secara aktif, perusahaan yang bertanggung jawab, serta masyarakat sipil yang dilibatkan sebagai pengawas independen. Pusat dan daerah harus duduk bersama menata ulang kontrak-kontrak, mekanisme bagi hasil, dan kewajiban pemulihan lingkungan sehingga manfaat SDA benar-benar mengalir ke rakyat yang berhak.
Komentar