By. Mukhtar Adam/Ketua ISNU Provinsi Maluku Utara
Perang bukan semata-mata pertempuran fisik antarkekuatan, melainkan manifestasi dari perebutan kendali atas sumber daya, jalur logistik, dan konsumsi dunia. Konflik kontemporer seperti Iran–Israel, Rusia–Ukraina, dan Cina–Amerika Serikat menunjukkan pola berulang dari sejarah panjang konflik global: perebutan kuasa ekonomi untuk menguasai arus konsumsi dunia.
Senjata hanyalah alat, sementara motif sesungguhnya adalah hegemonik kontrol atas sumber daya dan pasar. Dalam spektrum sejarah panjang tersebut, Moloku Kie Raha—Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo—memiliki posisi sentral sebagai sumber komoditas strategis global: cengkeh, atau yang dikenal sebagai emas dari timur.
Cengkeh: “Emas dari Timur” dan Branding Global. Sejak berabad-abad sebelum era kolonial Eropa, cengkeh dari gugus vulkanik Maluku Utara telah menjadi komoditas mewah yang diperdagangkan hingga ke Romawi, Persia, India, dan Cina. Jalur perdagangan ini bersambung di Konstantinopel, pusat episentrum dagang dunia, yang menghubungkan Asia Timur, Asia Tengah, Timur Tengah, dan Eropa.
Para pedagang Arab menyebut Moloku Kie Raha sebagai Jazirah al-mulk (Negeri Para Raja), yang menjadikan cengkeh sebagai produk eksotik dengan fungsi beragam: obat, parfum, spiritualitas, hingga kosmetik elite. Cengkeh menjadi bagian dari imajinasi bangsawan Eropa, termasuk Ratu Elizabeth I, yang dikenal sangat menghargai aroma rempah-rempah Timur.
Komentar