oleh

Maluku Utara di Persimpangan Jalan: 5 Bulan Kepemimpinan Gubernur Sherly Tjoanda dan Pusaran Isu yang Menuntut Jawaban

-HEADLINE-1331 Dilihat

Dari dugaan perusakan lingkungan dan “begal konstitusi” hingga konflik kepentingan dan “moritokrasi”, awan kelabu menyelimuti awal pemerintahan yang diharapkan membawa angin segar. Publik bertanya, ada apa?

Ternate, Malut – Belum genap setengah tahun memimpin Provinsi Maluku Utara, Gubernur Sherly Tjoanda kini berada di bawah sorotan tajam publik. Serangkaian isu berskala besar dan fundamental mengemuka secara beruntun, memicu alarm peringatan dini bagi masa depan tata kelola pemerintahan, kelestarian lingkungan, dan keadilan ekonomi di daerah ini.

Baca Juga  Dari Arena FORNAS VIII NTB: Dua Atlet ISDMI Malut Masuk Final Kategori Pelajar.

Berbeda dengan para pendahulunya yang mengawali masa jabatan dengan fokus pada peletakan visi pembangunan, kepemimpinan Gubernur Sherly justru diwarnai oleh kontroversi yang menyentuh urat nadi pemerintahan. Berikut adalah penelusuran mendalam atas isu-isu krusial yang kini menjadi perbincangan hangat.
1. Banjir di Hilir, Siapa Bertanggung Jawab di Hulu?

Bencana banjir dahsyat yang menerjang ibu kota Halmahera Selatan di Labuha beberapa waktu lalu membuka kotak pandora. Jari telunjuk Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Maluku Utara mengarah tegas ke hulu, di mana perusahaan yang terafiliasi dengan Gubernur Sherly Tjoanda, PT. Bella Berkat Anugerah (BBA), memegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK).
“Analisis peta kami menunjukkan konsesi PT. BBA terkoneksi langsung dengan DAS (Daerah Aliran Sungai) yang meluap,” ungkap Direktur Eksekutif WALHI Malut, Faisal Ratuela. “Kami menduga kuat deforestasi di area tersebut menjadi salah satu pemicu utama. Ini bukan sekadar bencana alam, ini menuntut pertanggungjawaban.”

Baca Juga  Bupati Hal-Teng, Ikram Sangadji Didesak Rekomendasikan Pencabutan 7 IUP di Pulau Gebe, LIRA Malut : Melanggar Aturan dan Mengancam Kehidupan Warga.

Tudingan ini diperkuat dengan catatan lain, seperti kasus PT. Karya Wijaya—perusahaan di mana Gubernur Sherly menjadi pemegang saham mayoritas—yang dilaporkan menggusur ribuan tanaman pala petani di Pulau Gebe dengan kompensasi yang dinilai tidak adil. Rentetan jejak bisnis di sektor sumber daya alam ini tak pelak melahirkan pertanyaan sensitif: Sejauh mana batas antara peran sebagai regulator dan kepentingan sebagai korporasi?

Baca Juga  HEADLINE : Foum CSS Menjadi Momentum : Ternate Gasak Target Kota Bebas Sampah 2030 dengan Strategi Inovatif dan Kolaborasi

2. Saat Pergub “Mengangkangi” Perda: Tudingan “Begal Konstitusi” Menggema

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *