Di ranah hukum tata negara, sebuah manuver kebijakan Gubernur Sherly Tjoanda menyulut api kontroversi. Penerbitan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 10 dan 12 yang menggeser anggaran APBD dinilai sebagai tindakan yang “mengangkangi” Peraturan Daerah (Perda) yang merupakan produk hukum bersama antara eksekutif dan DPRD.
“Ini preseden yang sangat buruk,” tegas akademisi hukum, Dr. Azis Hasyim. “Perda adalah undang-undang di tingkat daerah. Mengubahnya secara sepihak melalui Pergub adalah sebuah pelanggaran konstitusional. Gubernur seharusnya menjadi pelaksana Perda, bukan malah menganulirnya.”
Istilah “begal konstitusi” pun mulai dilontarkan para kritikus untuk menggambarkan kebijakan yang dianggap merusak tatanan hierarki hukum dan semangat demokrasi.
3. Uang Rakyat, Mengalir ke Mana? Sorotan Tajam Konflik Kepentingan
Kritik publik semakin tajam ketika kegiatan-kegiatan resmi Pemerintah Provinsi Maluku Utara dan bahkan kediaman dinas Gubernur diduga dipusatkan di Hotel Bella, sebuah hotel mewah yang notabene adalah aset bisnis milik Gubernur.
Aktivis antikorupsi, Muslim Arbi, menyebutnya sebagai praktik konflik kepentingan yang vulgar. “Ini adalah pola di mana dana publik (APBD) secara sistematis dialirkan untuk menguntungkan entitas bisnis pribadi pejabat. Transparansi dan akuntabilitas dipertaruhkan di sini,” ujarnya.
Publik dibiarkan bertanya-tanya tentang etika pejabat publik dalam mengelola potensi benturan antara kepentingan pribadi dan kewajiban negara.
4. Pembangunan Fisik vs. “Mati Suri” Ekonomi Lokal
Kebijakan penerapan swakelola untuk proyek-proyek infrastruktur bernilai puluhan miliar menjadi isu berikutnya. Meski dibingkai sebagai upaya efisiensi, kebijakan ini dikhawatirkan akan memukul telak perekonomian lokal.
Ratusan pengusaha jasa konstruksi lokal terancam kehilangan pekerjaan, yang berarti sirkulasi uang APBD di masyarakat akan mandek. Pengalaman di Kabupaten Pulau Morotai di bawah kepemimpinan mendiang Benny Laos—suami Gubernur Sherly—menjadi cermin. Pembangunan fisik berjalan, namun pusat perbelanjaan dan kafe yang dibangun justru sepi karena daya beli masyarakat yang lemah. Apakah pola yang sama akan terulang di tingkat provinsi?
Komentar