Bencana bisa datang kapan saja.Ibarat musim pancaroba, politik nasional hari ini sedang memasuki fase tak menentu. Keadaan memang sulit. Tapi di situlah perjuangan menemukan maknanya.
Kuhabiskan malam-malamku memikirkan nasib bangsaku. Bangsa yang hampir selalu dikalahkan oleh pemimpinnya sendiri. Karena itu, aku mencintainya. Tapi cintaku tak akan berarti tanpa aku menjadi pejuang.
Nasib manusia bukan milik manusia.Pada akhirnya Allah yang akan menentukan seperti apa jalan hidup tiap-tiap org.Tapi ikhtiar wajib dilakukan untuk membuka kemungkinan manusia mengendalikan nasibnya sendiri.
Tidak banyak orang yang berhasil. Tapi Allah lebih menghargai proses dari pada hasil akhir. Aku periksa kembali perjalanan hidupku hingga aku sampai pada titik ini. Terus terang tidak semua berjalan sesuai rencanaku.
Aku takjub pada takdir yang, kendati kadang membelokkan rencanaku, ia mengganti dengan sesuatu yang lebih menantang. Dan aku selalu membuka diri untuk menerima semua yang dihadirkan nasib. Apapun jenis tantangan dan cobaan itu.Dengan begitu, aku bisa bangga pada diriku.
Keadilan Ilahi tak dapat diukur dgn konsep-konsep keadilan manusia. Memang kadang aku kecewa atas cobaan dadakan yang datang tengah malam. Walakin, kekecewaan itu selalu sembuh sendiri. Pada hakekatnya, ia adalah sarana yang disediakan alam untuk mendewasakan manusia. Menolaknya sama artinya kita berhenti menjadi manusia.
Maka kukatakan pada diriku: “Anies, lawan! Jangan sekali-kali kau biarkan kemungkaran berjlalan di muka bumi dengan sombong. Kau tak akan kalah dalam keadaan bagaimanapun. Mana ada pejuang yang ikhlas dihina Tuhan.”
Namun, jangan mengira aku berambisi menjadi presiden. Sama sekali tidak! Aku tak punya instrumen apapun yang bisa membawa aku ke sana. Aku bukan pemimpin partai, kader pun bukan, apalagi dana. Padahal, kader partai dan logistik syarat kunci menjadi presiden di negeri ini, bukan integritas, prestasi, dan kapasitas intelektual. Lihat, Jokowi saja bisa menjadi presiden!
Dua kendala yang kuhadapi itu mestinya menggugurkan imajinasi orang bahwa jihadku hanyalah meraih kekuasaan, duduk di Istana yang “sakral” sambil mengagungkan diri. Dan mengancam siapa saja : Aku berkuasa atas nasib kalian, bukan Tuhan. Maka, hiduplah dengan tertib dgn kepala menunduk sebagaimana rakyat Korea Utara.
Aku maafkan orang yang berasumsi demikian atas diriku. Toh, mereka mengalami mimpi buruk menyaksikan perilaku presiden yang sekarang. Dulu, melihat wajah dan penampilannya, mereka yakin dia bukan dari kalangan Fir’aun. Mana mungkin tawa dan cara jalan Fir’aun seperti itu. Nyatanya mereka salah besar.
Komentar