Penguasa fir’aunik selalu muncul di semua zaman, di semua bangsa. Mereka hanya perlu bersalin diri untuk mengelabui rakyat. Tak apa rakyat menduga aku calon penguasa sejenis itu. Dulu juga mereka menuduh aku akan menindas minoritas, membuang Pancasila, sampai aku membuktikan sebaliknya.
Aku memang punya cita-cita. Tapi bukan untuk menjadi presiden. Itu terlalu jauh dan aku tahu diri. Kukejar pendidikan setinggi-tingginya hingga ke mancanegara hanya untuk membuat aku lebih arif dan awas dalam menapaki kehidupan yang penuh misteri. Dan kelak bisa memberdayakan bangsaku melalui transfer ilmu.
Aku membaca sejarah bangsa-bangsa yang mengungkapkan bahwa banyak bangsa kere menjadi maju karena mengapitalisasi bidang pendidikan. Tak sedikit juga yang surut ke belakang karena penguasa tak serius mencerdaskan bangsanya. Segera kudirikan “Gerakan Indonesia Mengajar”. Kukirim anak-anak muda terbaik yang berbagi visi denganku ke pelosok-pelosok terjauh negeri ini demi memberdayakan mereka yang terbuang.
Berdirinya Republik ini didasarkan pada janji menegakkan keadilan sosial bagi semua. Tanpa kecuali. Kalau semua mendapat kesempatan ekonomi, politik, dan sosial secara proporsional, energi bangsa akan berlipat ganda, persatuan akan terbangun, sehingga mimpi kita bangsa besar dan beradab menjadi masuk akal.
Lalu, lingkungan dan dinamika politik nasional berubah. Sistem demokrasi dirayakan di mana-mana, lebih meriah dari Idul Fitri, seolah kita baru saja terbebas dari penjajahan. Rakyat berjalan penuh percaya diri. Dan optimis mereka akan segera sejahtera di bawah negara yang humanis dan pemimpin yang rendah hati. Aku terharu dan ikut hanyut di dalamnya.
Kini presiden Indonesia boleh berasal dari kalangan rakyat biasa. Asal mampu, siapa saja boleh memasarkan diri untuk dinilai rakyat. Tiba-tiba slogan Abraham Lincoln “demokrasi adalah kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” berkumandang. Aku mulai tergelitik. Mengapa tak aku coba bersaing untuk mnjdi pemimpin puncak?
Dengan kekuasaan besar yang dimiliki presiden Indonesia pasti lebih mudah memajukan bangsaku. Tapi peluang berkompetisi dalam pilpres belim datang hingga aku membuktikan mampu memajukan DKI Jakarta yang kompleks secara sosial. Meskipun para pembenciku terus menebarkan dusta tentang diriku, lebih banyak yang mengapresiasi kinerjaku.
Biar begitu, dalam konteks pilpres, aku menyadari aku bukan siapa-siap.Tak punya partai, miskin pula. Sekonyong-konyong sebuah partai yang dulu memojokkan aku dalam Pilgub DKI 2017, meminta aku bersedia menjadi bakal capresnya. Bukan main kagetku. Apakah aku tak sedang bermimpi? Ini partai pendukung penguasa yang membenci aku hingga ke tulang sum-sum.
Yang menjadi menakjubkan, partai ini rela kehilangan segalanya sebagai resiko mengusung aku. Tidak mungkin hal semacam ini bisa terjadi di negeri ini di mana nyaris semua partai berwatak pragmatis dan oportunistik. Maka kita menyaksikan penguasa mengintimidasi dan mengkriminalisasi menteri-menyeri dari partai ini dan menghancurkan kerajaan bisnis pemimpinnya. “Tdk msk akal, demi aku, semua dikorbankan hingga ludes.”
Dua partai lain yang ikut mencapreskan aku, menghadpi rayuan, tekanan, dan ancaman yang nyaris sama. Persis seperti Orde Baru memperlakukan Megawati Soekarnoputri. Aku menangis menyaksikan durjana ini.Bagaimana menjelaskan fenomena ini ketika kita menganggap demokrasi telah mnjd konsensus nasional?
Pertanyaan ini muncul lantaran banyak sekali cerdik-pandai yang fasih bicara tentang demokrasi, namun membiarkan konstitusionalisme dilanggar secara kasat mata. Berkali-kali pula. Semoga mereka tak membenarkan pendapat Mochtar Lubis bahwa orang Indonesia memiliki watak munafik dan enggan bertanggung jawab.
Komentar