oleh

MASIH ADA JALAN KELUAR

-OPINI-7 Dilihat

Hari ini kita semua meriang. Speechless! Helpless! Ibu Pertiwi sedang mengungkap luka-lukanya. Sebagian sudah bernanah. KKN yang kita kira sudah terkubur pasca reformasi 1998, ternyata masih hidup. Bahkan, dengan spirit yang semakin vulgar!

Skandar korupsi dan pencucian uang di Ditjen Pajak dan Bea Cukai, Kementerian Keuangan, seperti celana dalam pemerintah yang terekspos di mall. Bayangkan, 460 pegawai terlibat korupsi dan transaksi gelap mencapai Rp 300 triliun. Tidak mungkin Menkeu Sri Mulyani Indrawati (SMI) tidak tahu.

Ketika khalayak menonton aib itu dengan perasaan jijik, Presiden Jokowi “kabur” ke Solo. Dalihnya, menyidak kantor pajak di sana. Aneh, peristiwa terjadi di hulu, ia menyidak di hilir bersama SMI. Mungkin tujuannya mengirim pesan ke publik bahwa pemerintah “peduli” pada kasus itu.

Tapi karena responsnya tidak masuk akal, drama di Solo lebih mungkin disebabkan ketidaksanggupan mereka menghadapi skandal yang nampak sudah lama dirahasiakannya. Skandal itu sudah berlangsung sejak 2009 dan sudah dilaporkan 200 kali oleh lembaga berwenang (PPATK). Namun, tak ditanggapi.

Baca Juga  Conie Layak Dipidana?

Pemerintahan Jokowi memang meremehkan KKN sebagai isu yang tidak berguna. Lihat, dua putera Jokowi yang masih “ingusan” dalam bisnis tiba-tiba memiliki puluhan perusahaan bernilai ratusan miliar rupiah hanya dalam waktu singkat. Dari mana mereka peroleh modal?

Pada awal 2022, dosen UNJ Ubedillah Badrun membawa kasus yang diduga hasil KKN Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep dengan ologarki ke KPK. Ia meyakini modal yang masuk berasal dari perusahaan besar yang punya masalah hukum.

Perusahaan itu adalah PT Sinar Mas yang divonis pengadilan dengan denda triliunan rupiah akibat pembakaran hutan. Setelah berkongsi dengan Gibran dan Kaesang, jumlah denda berubah menjadi hanya 90-an miliar rupiah. Ubedillah menghubungkan pengurangan denda itu dengan peran Gibran dan Kaesang sebagai anak presiden. Nampak masuk akal bukan?

Baca Juga  11 Tokoh Membangun Perlawanan Terhadap Oligarki

Aroma KKN keluarga Jokowi kian menyengat manakala Gibran dan iparnya, Bobby Nasution, menang mudah dalam pilkot di Solo dan Medan. Kemenangan dua anak muda yang tak berpengalaman ini tak terbayangkan kalau mereka bukan anggota keluarga dekat presiden.

Bukan tidak mungkin sikap permisif Jokowi terhadap KKN-lah yang menjadi penyebab tumbuhnya kasus-kasus korupsi dan pencucian uang bagai jamur di musim hujan, yang melibatkan menteri, hakim agung, anggota DPR, petinggi parpol, gubernur, bupati, komisioner KPU, komisioner KPK, dan banyak lagi yang lain. Kasus mega korupsi yang menonjol adalah penggarongan dana PT Asuransi Jiwasraya dan PT Asabri. Mereka tega mencuri duit rakyat ketika hampir 200 juta jiwa warga masih hidup di bawah garis kemiskinan, nyaris miskin, dan rentan miskin. Ini mencerminkan bertahannya moral bejat pejabat publik.

Baca Juga  Pejuang Terakhir dari Banten KHOLID MIGDAR

Ironisnya, pemerintah malah melemahkan KPK. Sudah dilemahkan pun pemerintah masih belum puas atas kiprah lembaga antirasuah itu. Belum lama ini, Menko Marinves Luhut Binsar Panjaitan memprotes KPK yang masih melakukan operasi tangkap tangan.

Independensi KPK dihilangkan dengan menempatkannya sebagai bagian dari rumpun eksekutif. Di bawah kendali presiden, KPK jadi alat untuk melayani tujuan-tujuan politik penguasa. Tak heran, KPK menolak menindaklanjuti laporan Ubedillah terkait KKN anak-anak presiden, tapi berupaya keras mempersangkakan Anies Baswedan, bakal capres antitesa Jokowi, dalam kasus Formula-E meskipun tidak memiliki bukti.

Moral hazard yang terang benderang ini membuat kita merasa berdosa pada founders fathers yang hidup pas-pasan selama hidup mereka. Juga pada rakyat, yang dulu berjuang tanpa pamrih untuk menghancurkan kolonialisme dan feodalisme yang mengisap darah bangsa habis-habisan.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *