oleh

Editorial: Setelah Tambang, Apa yang Tersisa?

-Editorial-66 Dilihat

Maluku Utara tengah menari di atas panggung ekonomi dunia. Pertumbuhan ekonominya mencapai 32,09 persen pada triwulan II tahun 2025, tertinggi di Indonesia, bahkan di dunia. Gubernur Sherly Tjoanda menuai pujian; media sosial dipenuhi sanjungan yang menobatkannya sebagai simbol keberhasilan dan ketangguhan perempuan pemimpin di Timur Nusantara.

Namun, di balik euforia angka yang fantastis itu, ada pertanyaan mendasar yang mesti diajukan: apakah pertumbuhan tinggi ini benar-benar bermakna bagi rakyat Maluku Utara?

Baca Juga  Tajuk Editorial: Izzuddin Al‑Qassam Kasuba — Suara dari Pinggiran yang Layak Didengar

Kita tahu, lonjakan ekonomi ini bukan muncul dari kekosongan. Ia adalah efek lanjutan dari kebijakan hilirisasi tambang nikel yang dicanangkan Presiden Joko Widodo sejak beberapa tahun lalu. Smelter-smelter raksasa berdiri di Halmahera Tengah dan Pulau Obi, mengolah nikel dan kobalt menjadi bahan baku industri baterai kendaraan listrik global. Arus investasi mencapai puluhan triliun, dan grafik PDRB pun melonjak tajam.

Baca Juga  Editorial: Menjaga Adab, Merawat Tradisi Cium Tangan

Tapi, di sisi lain, ekonomi rakyat masih berjalan di tempat.Sektor pertanian, perikanan, perdagangan kecil, dan UMKM yang menjadi tulang punggung mayoritas masyarakat nyaris tidak tersentuh.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *