Pertumbuhan ekonomi Maluku Utara (Malut) kembali mencetak rekor fantastis — 32,09 persen pada triwulan II tahun 2025. Angka itu bukan hanya tertinggi di Indonesia, tapi juga mengungguli banyak negara di dunia. Dunia usaha bersorak, para pejabat bergembira, dan warganet ramai menyanjung Gubernur Sherly Tjoanda sebagai simbol kepemimpinan perempuan yang berhasil membawa kemakmuran ke Timur Nusantara.
Namun, di balik deretan angka dan pujian itu, para ekonom dan pengamat mengingatkan: pertumbuhan ekonomi yang terlalu ditopang oleh tambang ibarat menanam benih di gurun pasir; tumbuh cepat, tapi tidak berakar kuat.
—
Efek Hilirisasi Jokowi yang Meledak di Era Sherly
Secara faktual, pertumbuhan ekonomi Maluku Utara adalah buah dari kebijakan hilirisasi nikel yang mulai diberlakukan Presiden Joko Widodo sejak 2020. Saat itu, Jokowi menutup ekspor bijih nikel mentah dan memaksa investor untuk membangun smelter di dalam negeri.Hasilnya kini terlihat. Kabupaten Halmahera Tengah dan kabupaten Hamahera Selatan di Pulau Obi menjelma menjadi kawasan industri padat modal. Pabrik-pabrik pengolahan nikel, kobalt, hingga bahan baku baterai kendaraan listrik beroperasi siang-malam.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, kontribusi sektor pertambangan terhadap PDRB Malut mencapai 40,11 persen, disusul industri pengolahan 20,79 persen. Dua sektor ini saja sudah menguasai lebih dari 60 persen mesin ekonomi provinsi.
“Kalau kita lihat dari sisi investasi, aliran dana untuk sektor hilirisasi di Maluku Utara sepanjang 2024 mencapai Rp55 triliun,” kata Wakil Menteri ESDM, Yuliot, saat peresmian program BBM Satu Harga di Ternate. “Maluku Utara adalah contoh sukses hilirisasi nikel dan kobalt,” ujarnya.
—
Kegembiraan yang Berlebihan: Pertumbuhan Tak Selalu Kemakmuran
Namun, ada paradoks besar yang harus diwaspadai.
Pertumbuhan tinggi tidak otomatis berarti kesejahteraan meningkat. Sebagian besar keuntungan dari industri nikel dan kobalt dinikmati oleh investor asing, bukan oleh masyarakat lokal. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) meningkat, tetapi Produk Domestik Regional Bruto per kapita riil yang benar-benar dirasakan rakyat tidak selalu ikut naik.
Sinyal ini bahkan sudah ditegaskan oleh Kepala BPS Maluku Utara, Simon. Ia mengingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi tinggi yang hanya bertumpu pada tambang bersifat sementara dan rapuh.
“Pertambangan bisa habis sewaktu-waktu. Pemerintah daerah harus segera mengembangkan sektor lain seperti pertanian dan perikanan yang berdampak langsung bagi masyarakat,” katanya.
Komentar