Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, ikut dalam barisan para gubernur yang memprotes kebijakan Menteri Keuangan Purbaya terkait pemangkasan Transfer Keuangan Daerah (TKD) tahun anggaran 2026. Dari total APBD Malut sekitar Rp3 triliun, provinsi ini harus menerima kenyataan pahit: anggaran daerahnya terpangkas hingga Rp.707 miliar lebih, atau sekitar 30 persen dari total belanja tahunan.
Protes Sherly ini, di satu sisi, wajar dan manusiawi. Ia memimpin daerah yang masih berjuang memperkuat infrastruktur dasar, memperluas akses layanan publik, dan menumbuhkan ekonomi rakyat di tengah tantangan fiskal nasional. Dalam logika pembangunan daerah, pemotongan sebesar itu jelas akan menggerus ruang fiskal pemerintah daerah dan berpotensi menghambat realisasi program-program strategis yang bersentuhan langsung dengan masyarakat.
Namun di sisi lain, kita juga perlu jujur menilai akar masalahnya. Pemotongan TKD bukan muncul dari ruang kosong. Kebijakan Menteri Keuangan Purbaya sejatinya adalah reaksi atas lemahnya kinerja fiskal daerah, terutama dalam hal efektivitas penggunaan anggaran dan disiplin serapan belanja publik.
Data menunjukkan, hingga triwulan III tahun 2025, Pemprov Maluku Utara baru mampu menyerap anggaran 50,24% atau sekitar Rp1,6 triliun dari total APBD Rp3,43 triliun. Artinya, separuh lebih dana publik masih mengendap di kas daerah dan rekening bank-bank umum, sementara kebutuhan rakyat tetap mendesak, mulai dari infrastruktur, layanan sosial, hingga pemberdayaan ekonomi.
Masalah klasik ini terus berulang: belanja daerah banyak terserap untuk kegiatan seremonial, perjalanan dinas, dan rapat-rapat yang minim produktivitas. Sementara itu, investasi publik yang menciptakan nilai tambah ekonomi seperti sektor pendidikan, pertanian, industri kecil, dan digitalisasi layanan publik justru sering tersisih.
Jadi, apakah protes Gubernur Sherly semata cermin kepedulian terhadap rakyat, atau justru bentuk ketidaksiapan menghadapi koreksi fiskal nasional?
Komentar